Jumat 26 Nov 2021 09:03 WIB

Salah Urus atau Ada Permainan di Garuda?

Sewa pesawat Garuda dijadikan ajang sejumlah pihak untuk mengeruk keuntungan.

Maskapai Garuda Indonesia diambang kebangkrutan. Foto sejumlah pesawat milik maskapai Garuda Indonesia terparkir di areal Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten.
Foto: Antara
Maskapai Garuda Indonesia diambang kebangkrutan. Foto sejumlah pesawat milik maskapai Garuda Indonesia terparkir di areal Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten.

Oleh : Nidia Zuraya, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Bisnis penerbangan sepertinya mulai menggeliat lagi seiring melandainya kasus Covid-19 di banyak negara. Produsen pesawat komersial pun mulai kebanjiran order.

Dua pekan lalu maskapai Akasa yang dimiliki oleh miliarder Rakesh Jhunjhunwala dilaporkan tengah melakukan pembicaraan dengan Boeing dengan nilai potensi kesepakatan yang mencapai 10 miliar dolar AS atau setara Rp 143 triliun (kurs Rp 14.300 per dolar AS). Kesepakatan ini diumumkan dalam Dubai Airshow yang berlangsung pada pekan ini, 14-18 November 2021.

Bahkan menurut seorang sumber anonim, Boeing akan mulai mengirim pesanannya sebanyak 10 pesawat pada paruh pertama tahun depan dan sisanya dalam 3 tahun ke depan.

Sementara rival Boeing, Airbus SE mencatat pesanan besar sebanyak 255 jet berbadan sempit di Dubai Airshow. Pesanan bernilai lebih dari 30 miliar dolar AS, belum beserta diskon, ini berasal dari Wizz Air Holdings Plc, Frontier Group Holdings Inc. dan dua maskapai berbiaya rendah lainnya yang sahamnya dimiliki oleh Indigo Partners LLC milik pengusaha Bill Franke.

Jika banyak perusahaan maskapai mulai bangkit kembali dan melakukan pemesanan armada baru, kondisi miris justru tengah dihadapi maskapai kebanggaan rakyat Indonesia, Garuda Indonesia Airlines. Saat ini kondisi Garuda Indonesia bisa dibilang sedang di bawah titik terendah.  

Baca juga : Garuda Kurangi Rute, Slot Penerbangan Diisi Maskapai Lain

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan model bisnis Garuda Indonesia sudah salah sejak awal. Erick menyebut kesalahan model bisnis sudah berlangsung sejak lama dan baru meledak saat ini karena efek pandemi.

Bahkan Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menyebut Garuda Indonesia sudah bangkrut secara teknis. Hal ini tak lepas dari memburuknya kondisi Garuda yang selalu menderita kerugian sejak 2017.

Tercatat, ekuitas Garuda negatif sebesar 2,8 miliar dolar AS atau Rp 40 triliun per September 2021, dengan tambahan ekuitas negatif mencapai 100 juta dolar AS sampai 150 juta dolar AS atau Rp 1,5 triliun hingga Rp 2 triliun setiap bulan. Sementara utang Garuda kini mencapai 9,7 miliar dolar AS dengan aset sebesar 6,9 miliar dolar AS.

Salah satu kesalahan utama Garuda, menurut Erick, ialah memaksakan pembukaan rute penerbangan internasional yang justru merugikan perusahaan melalui penyewaan pesawat dengan beragam jenis pesawat. Sejak awal, ia menginginkan bisnis model Garuda dan Citilink kembali fokus menggarap pasar domestik yang besar seperti yang juga dilakukan oleh maskapai Amerika Serikat (AS).

Tak hanya karena kesalahan model bisnis, keterpurukan yang dialami Garuda juga karena perusahaan maskapai milik negara ini digunakan oleh sejumlah pihak untuk mencari keuntungan dari kesepakatan sewa pesawat. Kementerian BUMN mencatat sewa pesawat maskapai Indonesia paling banyak dan mahal di dunia, yakni mencapai 28 persen dari rata-rata dunia yang hanya enam persen pada biaya operasional.

Baca juga : Mantan Anggota Panja Sebut Ada Tekanan Saat Buat UU Ciptaker

Upaya penyelamatan

Tak seperti BUMN lain yang mendapatkan suntikan modal dari pemerintah, hingga hari ini Kementerian Keuangan belum berencana untuk memberikan dana segar kepada Garuda Indonesia. Semula, pemerintah sudah mau memberi dana Pemuihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp 8,5 triliun kepada Garuda Indonesia.
 
Dana itu sudah sempat dicairkan Rp1 triliun. Tapi sisanya Rp 7,5 triliun belum karena ada beberapa parameter keuangan Garuda yang tidak bisa dipenuhi karena kinerja perusahaan terus memburuk.
 
Kendati demikian, pemerintah akan mengupayakan penyelamatan Garuda Indonesia melalui transformasi bisnis. Fokus awal adalah mengoptimalkan rute-rute penerbangan domestik serta mengurangi rute internasional secara signifikan. Garuda akan mengurangi jumlah rute dari 237 rute menjadi hanya 140 rute yang super premium.
 
Kedua, pesawat Garuda Indonesia dan Citilink akan dikurangi dari 202 pesawat pada 2019 menjadi 134 pesawat pada 2022. Adapun tipe pesawat juga dikurangi dari 13 jenis menjadi hanya 7 jenis untuk menyederhanakan operasional.
 
 
Ketiga, melakukan negosiasi ulang kontrak sewa pesawat dengan tujuan untuk menyesuaikan biaya sewa pesawat dengan market rates saat ini. Keempat, kontribusi pendapatan kargo melalui peningkatan utilisasi belly capacity dan digitalisasi operasional juga akan terus ditingkatkan.
 
Kelima, meningkatkan kontribusi pendapatan dari fasilitas tambahan melalui produk unbundling, ekspansi produk yang ditawarkan, dan penerapan dynamic pricing strategy."Ini akan menjadi tantangan karena akan banyak bandara yang mengalami kelangkaan jumlah penerbangan," ujar Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo.
 
Melalui transformasi bisnis yang akan dijalankan, diharapkan neraca keuangan Garuda Indonesia dapat membaik dengan ekuitas yang positif. Untuk saat ini penyelamatan Garuda baru memasuki tahap restrukturisasi utang.
 
Garuda Indonesia tengah melakukan negosiasi dengan seluruh kreditur. Mulai dari perusahaan penyewa pesawat (leasing), kreditur dari pihak perbankan baik yang swasta maupun BUMN, kreditur pemegang sukuk, KIK-EBA, hingga para vendor-vendor, salah satunya PT Pertamina (Persero).
 
Negosiasi dengan para kreditur juga akan dilakukan melalui jalur pengadilan. Langkah ini akan ditempuh agar beberapa negosiasi lebih mudah dan cepat selesai karena keputusan pengadilan berlaku untuk banyak negosiasi dengan kreditur sekaligus.
 
 
Tak cukup hanya melakukan negosiasi dengan seluruh kreditur, restrukturisasi juga dilakukan dengan mengalihkan utang perseroan menjadi saham, menerbitkan obligasi tanpa kupon, hingga pemotongan bunga obligasi. Hal ini akan diterapkan ke sejumlah vendor BUMN, mulai dari himpunan bank-bank negara (Himbara), PT Pertamina, PT Airnav Indonesia, PT Gapura Angkasa, hingga PT Angkasa Pura I dan II.
 
Rencana transformasi bisnis dan restrukturisasi Garuda Indonesia ini harus mampu menarik pendanaan baru untuk menjalankan kegiatan perseroan. Jika tak ada dana segar yang diterima Garuda, tak menutup kemungkinan maskapai ini akan benar-benar bangkrut secara legal seperti yang menimpa maskapai milik negara Italia, Alitalia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement