Selasa 09 Nov 2021 23:06 WIB

Pengurangan Frekuensi Perusahaan Merger Merugikan

UU Ciptaker di sektor telekomunikasi tidak menjadi pembeda

Perawatan Perangkat BTS. Teknisi memeriksa pemancar sinyal di BTS. (ilustrasi)
Foto: Republika/ Wihdan
Perawatan Perangkat BTS. Teknisi memeriksa pemancar sinyal di BTS. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyetujui aksi merger yang dilakukan dua operator telekomunikasi yakni PT Indosat Ooredoo Tbk dan PT Hutchison 3 Indonesia. Namun, frekuensi kedua operator telekomunikasi tersebut harus dipangkas dan dikembalikan ke pemerintah.

Head of Research Praus Capital, Alfred Nainggolan, menilai realisasi itu di luar ekspektasi. Terlebih jika melihat telah berlakunya Undang-undang (UU) Ciptaker mengenai kerja sama penggunaan spektrum antar operator.

“Hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi industri telekomunikasi Tanah Air, terkhusus dalam upaya penguatan perusahaan telekomunikasi di Indonesia melalui konsolidasi operator telekomunikasi. Lahir dan berlakunya UU Ciptaker ditujukan untuk memberikan stimulus dalam investasi, bagaimana investor semakin diyakinkan lagi dengan kepastian hukum dari UU tersebut,” ujarnya di Jakarta.

Alfred menilai pengurangan frekuensi terhadap perusahaan hasil merger sangat merugikan. Karena salah satu tujuan utama dari merger operator telekomunikasi adalah memaksimalkan frekuensi yang dimiliki nantinya. 

“Saya menilai keputusan merger Indosat dan Hutchison 3 mengharapkan bisa memaksimalkan frekuensi yang dimiliki keduanya, dan saya juga yakin jika tahu akan ada pengurangan hasil frekuensi pascamerger tentu keputusannya akan berbeda,” jelasnya. 

Menurut dia, telah terjadi ketidaksinkronan kebijakan. Pemerintah di satu sisi menyetujui, merger atau konsolidasi operator telekomunikasi merupakan jalan mendorong efisiensi industri telekomunikasi dan mempercepat transformasi digital di Indonesia. Namun di sisi lain, secara tidak langsung jalan untuk merger dan konsolidasi tersebut terhambat dengan kerugian yang dihasilkan pascamerger karena aturan yang berlaku. 

“Pengurangan frekuensi pascamerger ini mengulang kembali kasus merger XL Axiata dan Axis tahun 2014, yang artinya kehadiran UU Ciptaker khusus di sektor telekomunikasi tidak menjadi pembeda atau tidak memberikan stimulus bagi pelaku industri, seperti yang selama ini digaungkan oleh pemerintah,” katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement