REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, menuturkan pentingnya para pelaku usaha pertanian di Indonesia untuk bisa beradaptasi terhadap perubahan iklim. Pasalnya, isu perubahan iklim global bertalian erat dengan kemampuan sektor pertanain untuk dapat cepat menyiapkan antisipasi demi mempertahankan produksi pangan dalam negeri.
"Kita belum selesai menghadapi tantangan Covid-19 yang masih terjadi. Kita juga dihadapkan pada emisi gas, efek rumah kaca dan persoalan lingkungan. Ingat, perekonomian dunia porak poranda selama dua tahun termasuk Indonesia. Namun yang mampu bertahan adalah pertanian," katanya dalam keterangan resmi dikutip Republika.co.id, Ahad (7/11).
Syahrul juga menyampaikan, dalam kondisi dan situasi apa pun, pertanian harus tetap berproduksi. Ia mencontohkan, negara-negara yang mengalami empat musim, mereka kini tengah mengalami kesulitan dalam hal produksi pangan.
Adapun dalam hal menghadapi puncak badai La Nina akhir 2021, ia menyampaikan, telah menyiapkan skenario mengantisipasi badai La Nina untuk sektor pertanian sebagaimana diprediksi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
"Pertanian ini tak boleh terganggu oleh apapun, sebab pertanian merupakan sektor yang berkaitan dengan pemenuhan hajat hidup seluruh rakyat Indonesia. Jadi, apapun situasinya, pertanian harus tetap berjalan," kata dia.
Sementara itu, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Ali Jamil menjabarkan, untuk aspek mitigasi ada dua skenario yang telah disiapkannya.Pertama adalah aspek forecasting, yaitu secara teoritis masalah banjir dapat diminimalisasi risikonya apabila kemampuan prakiraan musim dapat dilakukan lebih awal dan akurat."Kedua adalah aspek deliniasi wilayah rawan banjir perlu dilakukan untuk menyusun strategi antisipasi dan memfokuskan penanganan masalah banjir secara spasial dan temporal (antarwaktu)," ujar Ali.
Aspek deliniasi juga mengilustrasikan pergeseran ataupun peningkatan wilayah rawan banjir dan kekeringan.Sementara itu dari sisi aspek adaptasi terhadap perubahan cuaca. Ali menyebut ada empat langkah yang telah disiapkan. Pertama ketersediaan informasi dan teknologi tentang banjir dan kekeringan. Kedua, kebijakan dan perencanaan pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim, termasuk terhadap iklim ekstrem yakni banjir dan kekeringan."Berikutnya yang ketiga adalah sistem pendukung kelembagaaan pertanian yang responsif terhadap banjir dan kekeringan," katanya.
Terakhir pemerintah harus membangun kepedulian masyarakat, mengilustrasikan pergeseran dan atau peningkatan wilayah rawan banjir dan kekeringan. "Kami juga membangun sinkronisasi dan sinergitas dengan kementerian/lembaga terkait secara partisipatif dan berkelanjutan," ujar dia.
Kementan, Ali melanjutkan, juga telah menetapkam tujuh langkah untuk mengantisipasi musim hujan yang mulai intens mengguyur wilayah Indonesia.
Pertama, sosialisasi dan koordinasi dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang rawan banjir. "Kedua, secara intensif menginformasikan data iklim dari BMKG. Ketiga, percepatan tanam untuk daerah yang puncak genangan di bulan Desember 2021 dan Januari 2022," papar dia.
Keempat, pada daerah rawan banjir, pompa-pompa air harus disiapkan. Begitu juga dengan normalisasi saluran, pengaturan air melalui embung, DAM parit, longstorage dan lainnya.
Kelima, dalam melakukan percepatsn tanam, brigade tanam segera dikerahkan. Begitu juga dengan prasarana pendukung seperti traktor, pupuk, benih dan lainnya."Berikutnya adalah menggunakan varietas tahan genangan. Terakhir adalah memanfaatkan Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP)," katanya.