Kamis 07 Oct 2021 14:37 WIB

Menko: Transisi Energi Ciptakan Pembangunan Berkelanjutan

Ketahanan energi menjadi faktor penting dalam keberlanjutan kehidupan sebuah negara.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Friska Yolandha
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, ketahanan energi menjadi faktor penting dalam keberlanjutan kehidupan sebuah negara.
Foto: Pertamina
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, ketahanan energi menjadi faktor penting dalam keberlanjutan kehidupan sebuah negara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, ketahanan energi menjadi faktor penting dalam keberlanjutan kehidupan sebuah negara. Energi tidak hanya merupakan faktor produksi yang penting bagi kegiatan dan pertumbuhan ekonomi, namun juga menjadi komoditas strategis yang dapat mengancam kegiatan ekonomi pada saat kondisi krisis.

Hal itu terutama pada saat kondisi harga yang tidak terkendali akibat terbatasnya pasokan. Kondisi yang terjadi saat ini pada pasar energi dunia yaitu meroketnya harga gas dan batu bara, disusul kenaikan harga minyak, ini menyebabkan terjadinya krisis energi di Eropa, khususnya Inggris, serta di China.

Dijelaskan, krisis energi di Inggris diakibatkan terjadinya perfect storm yakni kondisi musim panas yang sangat panas dan kemungkinan akan dilanjutkan dengan musim dingin yang sangat dingin menjelang akhir tahun ini di Eropa. Kemudian keterbatasan pasokan dari Rusia sebagai salah satu pemasok utama bagi Eropa, serta investasi infrastruktur penyimpanan (storage) gas yang terkendala. 

Airlangga menjelaskan, dalam konteks Eropa, aturan emisi karbon dioksida (CO2) yang semakin ketat juga menyebabkan harga karbon menjadi sangat tinggi. Pulihnya ekonomi di negara Tirai Bambu saat ini menyebabkan permintaan energi tinggi, dan telah membuat harga batu bara mencapai tingkat tertinggi selama sejarah melebihi 230 dolar AS per ton pada awal Oktober 2021. 

Dengan keterbatasan pasokan gas di Eropa, banyak pasokan yang tadinya untuk tujuan pasar Asia beralih ke Eropa, sehingga harga di Asia, yang direpresentasikan oleh harga spot LNG meningkat sangat tinggi mencapai lebih dari 25 dolar AS per MMBTU. “Kondisi ketidakpastian yang semakin tinggi tersebut mewarnai sektor energi dunia yang berdampak kepada semua negara, termasuk Indonesia. Maka pemerintah terus berupaya memperbaiki iklim investasi guna meningkatkan daya saing investasi di sektor energi melalui berbagai insentif. Hal itu akan meningkatkan penerimaan negara yang dapat dipergunakan sebagai modal pembangunan nasional,” ujar Airlangga dalam keterangan resmi, Kamis (7/10).

Saat ini, lanjutnya, dunia sedang memasuki masa transisi energi sejak adanya Kesepakatan Paris atau Paris Agreement tentang perubahan iklim demi menjaga agar pemanasan global tidak naik lebih dari 2 atau bahkan 1,5 derajat Celcius. Ini ditindaklanjuti oleh pernyataan dari berbagai negara yang akan berada pada posisi net-zero emission (NZE) pada 2050.

Kebijakan pemulihan ekonomi Indonesia, lanjut Menko Airlangga, dilandasi keinginan kuat menjaga kelompok rentan agar tidak terdampak secara drastis dari pandemi Covid-19 ini. “Kita telah meningkatkan anggaran untuk menjaga kelompok ini termasuk di dalamnya adalah UMKM. Semua ini tentunya membutuhkan anggaran yang cukup besar, di tengah penerimaan pajak yang menurun akibat pembatasan kegiatan ekonomi,” tutur dia.

Meski demikian, Pemerintah tidak melupakan aspirasi jangka panjang, contohnya dalam menangani masalah pemanasan global akibat perubahan iklim. Hal ini akan berdampak pada keharusan semua negara untuk melakukan transisi energi. 

Menurutnya, konsumsi energi ke depan perlu memperhatikan emisi karbon, sehingga kebijakan Pemerintah mengarah pada pemberian insentif bagi penggunaan energi bersih seperti energi terbarukan. Lalu, di saat yang sama juga membuat kebijaksanaan disinsentif, bahkan menghentikan atau moratorium penggunaan energi fosil, khususnya yang beremisi karbon relatif lebih tinggi.

Pembangunan ke depan diarahkan mempertahankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, target penurunan emisi, dan kapasitas daya dukung sumber daya alam. Pemerintah akan membuat kebijakan yang mengakomodasi nilai ekonomi karbon yang implementasinya akan dilakukan secara bertahap.

Pengenaan pajak karbon tidak serta merta akan dilakukan, namun akan dilakukan secara bertahap melalui kajian dari berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, maupun politis. Pembahasan serta kajian ini akan melibatkan berbagai kalangan, termasuk sektor swasta.

Tantangan multidimensi yang dihadapi kali ini perlu ditanggapi secara seksama dengan melibatkan seluruh komponen bangsa. “Pemerintah tidak bisa bergerak sendirian. Sektor swasta, akademisi serta organisasi wadah pemikir (think-tank), dan organisasi masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat, perlu bahu-membahu berkontribusi mendukung Pemerintah dalam menghasilkan kebijakan yang berorientasi jangka panjang, tetapi tak lupa mengatasi tantangan jangka pendek saat ini,” tuturnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement