REPUBLIKA.CO.ID, CHICAGO -- Emas kembali menguat menembus level psikologis 1.800 dolar AS pada akhir perdagangan Selasa waktu setempat (14/9). Penguatan emas terjadi karena dolar melemah setelah kenaikan inflasi AS yang lebih lambat dari perkiraan menyebabkan ketidakpastian atas jadwal Federal Reserve AS untuk mengurangi stimulus moneternya (tapering).
Kontrak emas paling aktif untuk pengiriman Desember di divisi Comex New York Exchange, melonjak 12,7 dolar AS atau 0,71 persen, menjadi ditutup pada 1,807,10 dolar AS per ons. Sehari sebelumnya, Senin (13/9), emas berjangka naik 2,3 dolar AS atau 0,13 persen menjadi 1.794,40 dolar AS per ons.
"Emas sedang mempermainkan level 1.800 dolar AS per ounce menyusul data inflasi AS yang sedikit lebih lemah dari perkiraan," kata Suki Cooper, analis logam mulia di Standard Chartered Bank.
Indeks Harga Konsumen (IHK) inti AS naik tipis 0,1 persen pada Agustus, meleset dari ekspektasi untuk kenaikan 0,3 persen, dan mengakibatkan dolar AS melemah. Itu adalah kenaikan terkecil sejak Februari dan mengikuti kenaikan 0,3 persen pada Juli.
"Sementara pengumuman tapering tidak mungkin sampai pertemuan FOMC November, pertemuan September akan memperkenalkan proyeksi staf, atau 'titik' untuk 2024. Titik 2024 dapat mencerminkan dua kenaikan suku bunga 2023," tambah Cooper.
Data inflasi dapat memperkuat pandangan bahwa Fed mungkin akan memperlambat langkah-langkah dukungan ekonomi dan mempertahankan suku bunga rendah. Suku bunga yang lebih rendah menurunkan peluang kerugian memegang emas yang tidak memberikan imbal hasil.
Logam mulia lainnya, perak untuk pengiriman Desember naik 8,9 sen atau 0,37 persen, menjadi ditutup pada 23,885 dolar AS per ons. Platinum untuk pengiriman Oktober turun 18,8 dolar AS atau 1,96 persen menjadi ditutup pada 938,7 dolar AS per ons.