Kamis 09 Sep 2021 13:45 WIB

Perdagangan Daging Sapi Indonesia-Australia Makin Tertekan

Terbatasnya pasokan dan harga sapi yang tinggi menyebabkan industri tertekan.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Warga melintas di dekat daging sapi yang dijual di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (2/6). Laporan JSOI terbaru menyoroti tantangan finansial yang saat ini masih dihadapi oleh usaha penggemukan (feedlot) dan rumah pemotongan hewan (RPH) Australia dan Indonesia yang sangat terkendala oleh terbatasnya pasokan dan harga sapi yang tinggi.
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Warga melintas di dekat daging sapi yang dijual di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (2/6). Laporan JSOI terbaru menyoroti tantangan finansial yang saat ini masih dihadapi oleh usaha penggemukan (feedlot) dan rumah pemotongan hewan (RPH) Australia dan Indonesia yang sangat terkendala oleh terbatasnya pasokan dan harga sapi yang tinggi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemitraan Indonesia-Australia untuk Ketahanan Pangan di Sektor Daging Merah dan Sapi merilis Joint State of the Industry (JSOI) 2021 Mid-Year Update Report. Laporan tersebut berisi soal kondsi Industri Indonesia dan Australia yang merangkum status perdagangan sapi hidup dan produk daging sapi secara bilateral antara Australia dan Indonesia.  

Laporan JSOI terbaru menyoroti tantangan finansial yang saat ini masih dihadapi oleh usaha penggemukan (feedlot) dan rumah pemotongan hewan (RPH) Australia dan Indonesia yang sangat terkendala oleh terbatasnya pasokan dan harga sapi yang tinggi.

Baca Juga

Diketahui, banyak di antara usaha tersebut yang melaporkan telah mengalami kerugian operasional. Sementara itu, industri daging merah dan sapi Indonesia terus mengalami tekanan akibat dampak negatif pandemi Covid-19.  

Co-Chair Partnership Indonesia, Riyatno, mengatakan, kondisi industri daging merah saat ini cukup memperihatinkan.

“PPKM yang diberlakukan di seluruh Indonesia sebagai upaya mengendalikan pandemi Covid-19 varian Delta secara signifikan melemahkan daya beli konsumen dan permintaan daging sapi," katanya dalam keterangan resmi kepada Republika.co.id, Kamis (9/9).

Usaha feedlot dan RPH di Indonesia dan Australia masih terus berupaya untuk tetap mempertahankan profitabilitas di tengah tantangan pasokan sapi yang terbatas, rekor harga sapi Australia yang tinggi, serta kenaikan harga pakan.

Pandemi Covid-19 diakui terus melemahkan permintaan sapi dan daging sapi di Indonesia, akibat berkurangnya daya beli konsumen dan PPKM. Total ekspor sapi hidup tahun 2021 dari Australia ke Indonesia diproyeksikan lebih rendah 36 persen dari realisasi ekspor tahun 2019.  

Permintaan global dan domestik Australia yang kuat serta jumlah ternak Australia yang jauh lebih kecil kemungkinan akan membuat harga sapi bakalan tetap tinggi hingga April-Mei 2022.

Riyatno mengatakan, turunnya angka kasus aktif dan kasus baru Covid-19, serta upaya gencar perluasan vaksinasi diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang diperkiraan akan naik lebih dari 4 persen tahun ini.

Sementara itu, Co-Chair Partnership Australia, Chris Tinning, menyampaikan, kemungkinan kondisi akan membaik pada paruh kedua tahun 2022. Curah hujan yang baik di Australia tahun ini membantu produsen Australia untuk meningkatkan kembali populasi sapi dan mempertahankan stok sapi mereka.

Oleh karena itu, harga ekspor sapi hidup yang tinggi saat ini seharusnya bisa turun pada paruh kedua tahun 2022 dan bisa meredakan tekanan keuangan yang dialami usaha feedlot dan RPH di Australia dan Indonesia.  

"Laporan JSOI terbaru diharapkan dapat membantu pemerintah dan kelompok industri melalui masa ekonomi yang tidak pasti ini,” ujar dia.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement