Senin 30 Aug 2021 16:36 WIB

BI Terus Pantau Risiko Perubahan Kebijakan Bank Sentral AS

Bank sentral AS akan mulai mengurangi pembelian aset pada akhir tahun ini.

Gubernur BI Perry Warjiyo bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (8/6). Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menegaskan pihaknya terus memantau risiko waktu dan besaran perubahan kebijakan atau tapering Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, yang kemungkinan akan terjadi dalam waktu dekat.
Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Gubernur BI Perry Warjiyo bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (8/6). Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menegaskan pihaknya terus memantau risiko waktu dan besaran perubahan kebijakan atau tapering Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, yang kemungkinan akan terjadi dalam waktu dekat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menegaskan pihaknya terus memantau risiko waktu dan besaran perubahan kebijakan atau tapering Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, yang kemungkinan akan terjadi dalam waktu dekat. The Fed berencana mengurangi pembelian aset pada akhir tahun ini.

"Pernyataan terakhir dari Gubernur The Fed Jeremy Powel dalam Jackson Hall kemarin melihat kemungkinan mulainya pengurangan likuiditas di akhir tahun ini, meskipun kenaikan suku bunga masih di penghujung tahun 2022," ungkap Perry dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Senin (30/8).

Baca Juga

Meski begitu, ia menilai reaksi dan pemahaman pasar mengenai kemungkinan perubahan kebijakan Fed tersebut sudah semakin baik saat ini. Kendati demikian, BI akan terus mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan tersebut dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, pasar surat berharga negara (SBN), dan pemulihan ekonomi global.

Perry menjelaskan pergerakan nilai tukar rupiah secara teknikal belakangan ini memang dipengaruhi reaksi pasar terhadap kemungkinan perubahan kebijakan Bank Sentral AS, namun langkah-langkah stabilisasi terus dilakukan. "Kalau diperlukan melalui intervensi pasar. Tapi, secara keseluruhan pergerakan nilai tukar rupiah itu sesuai dengan mekanisme pasar, tidak banyak kami lakukan intervensi kecuali pada periode pasar mendapat tekanan seperti pada awal tahun 2022 ini karena kenaikan kasus COVID-19 varian Delta," tegasnya.

Maka dari itu, ia menyebutkan perkembangan COVID-19 varian Delta yang sudah terjadi di berbagai negara juga menjadi salah satu risiko global yang akan terus dipantau saat ini. "Kenaikan kasus COVID-19 tentu mempengaruhi pola pertumbuhan ekonomi global yang akan menjadi berbeda-beda karena tergantung pada kemajuan vaksin dan besarnya stimulus," ujar Perry.

Ia menilai dampak dari divergensi pertumbuhan ekonomi di berbagai dunia tersebut mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia, meski terdapat peluang mendorong pertumbuhan ekonomi dari sektor terbuka.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement