REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan bahwa Indonesia baru mengumpulkan 66,58 persen dari total Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang seharusnya bisa dipungut. Menurut Hestu, pemungutan PPN belum maksimal karena terlalu banyak barang dan jasa yang dikecualikan dari pemungutan PPN dan fasilitas pembebasan PPN juga terlalu banyak.
"Kita punya ketiga kawasan (bebas PPN), yakni kawasan berikat, kawasan ekonomi khusus, dan kawasan bebas (pajak), sementara negara lain hanya punya satu atau dua. Ini menyebabkan distorsi, dan kinerja PPN jadi tidak cukup baik," kata Hestu di Jakarta, Jumat (27/8).
Di samping itu, menurut dia, tarif PPN di Indonesia pun terbilang kecil dibandingkan negara-negara lain."Tarif PPN kita sebesar 10 persen, tidak bergerak dari tahun 1983. Sementara, tarif PPN negara-negara di dunia bergerak naik secara bertahap menjadi rata-rata 15,4 persen," imbuh Hestu.
Hestu mencontohkan tarif PPN Pakistan sudah mencapai 17 persen. India yang perekonomiannya tidak jauh berbeda dengan Indonesia, bahkan sudah mengenakan PPN dengan tarif 18 persen.
Selain itu, Indonesia hanya memiliki satu tarif PPN untuk berbagai barang dan jasa yang dinilai tidak adil. Pasalnya, beberapa barang dan jasa yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan menengah ke atas semestinya dikenakan tarif PPN lebih tinggi.
"Tarif tunggal kita lihat kurang mencerminkan keadilan. Semua jenis barang dikenakan tarif yang sama, tidak melihat apakah itu barang kebutuhan masyarakat banyak atau barang yang sebenarnya hanya dinikmati kalangan tertentu," kata Hestu.
Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), pemerintah berencana membuat tarif PPN umum sebesar 12 persen, tarif PPN rendah untuk barang atau jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak sebesar 5 sampai 7 persen, dan tarif PPN sebesar 15 sampai 25 persen untuk barang yang tergolong mewah.