REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Panas bumi berpotensi menjadi andalan dalam transisi energi dari energi fosil menjadi energi baru dan terbarukan (EBT). Atas alasan itulah, pemerintah terus melakukan pengembangan dan pemanfaatan energi panas bumi.
Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, Indonesia tergolong lebih agresif dibanding negara lain untuk pengembangan panas bumi. Saat ini, kapasitas PLTP nasional mencapai 2.175 MW.
Kendati demikian, ia mengakui ada beberapa tantangan dalam pengembangan panas bumi, yakni terkait lingkungan dan status kawasan hutan. “Tantangan sampai kapanpun akan ada, dinamika masyarakat juga semakin kuat, tapi dengan sinergi berbagai pihak, tantangan itu dapat dikelola dengan baik,” katanya, Kamis (29/7)
Pemerintah, lanjut dia, akan mendukung pengembangan panas bumi dengan berbagai insentif yang dimungkinkan. Tarif sedang disusun pemerintah, khususnya dalam bentuk Peraturan Presiden.
“Kami pastikan balik modalnya cepat, tapi juga memaksimalkan kemampuan negara,” kata Dadan.
Panas bumi dinilai memiliki banyak kemiripan dengan migas, sehingga cadangan semakin bertambah. Eksplorasi yang dilakukan pemerintah pun sedang berjalan, yaitu di Nage, Nusa Tenggara Timur dan Cisolok, Jawa Barat. Ini diharapkan bisa memberikan penyesuaian dari sisi harga.
“Harga panas bumi saat ini sedang saya lunakkan. Saya akan dorong panas bumi yang layak secara keekonomiannya, sehingga bisa memanfaatkan panas bumi itu sebagai base load. Keekonomiannya win-win dari sisi konsumen dan produsen,” katanya.
Direktur Utama Geo Dipa Riki Ibrahim menjelaskan, tantangan pengembangan panas bumi adalah harga EBT yang masih harus bersaing dengan pembangkit fosil dan terbatasnya lembaga keuangan yang bersedia memberikan pinjaman dalam fase eksplorasi.
Tantangan lainnya adalah mengenai risiko dalam masa eksplorasi, namun tingkat risiko disebut tidak sebesar di migas.
“Saya sampaikan untuk eksplorasi panas bumi itu risikonya tidak sebesar migas. Khusus di lapangan di Indonesia, termasuk yang baru, dari sisi risiko itu 40 persen, tidak begitu besar,” katanya.
Untuk itu, pengembangan panas bumi harus dilakukan bertahap dan perusahaan yang terjun harus yang mempunyai visi dan misi jangka panjang. PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), misalnya, sudah melakukan 39-40 tahun untuk pengembangan panas bumi melalui PLTP Kamojang.
“Jadi bagaimana caranya agar risiko eksplorasi itu jangan dilihat sebagai jangka pendek. Masih perlu kajian ulang untuk harga panas bumi, agar swasta bisa masuk ke sektor panas bumi,” kata dia.