Rabu 23 Jun 2021 14:47 WIB

Waspadai Lonjakan Harga Pangan Pasca Idul Fitri

Harga daging mengalami kenaikan paling ekstrem dari Rp154.750 menjadi Rp 165.900

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Hiru Muhammad
Calon pembeli memilih daging sapi di Pasar Agung, Depok, Jawa Barat, Selasa (11/5/2021). Menurut pedagang, dalam dua hari terakhir menjelang Hari Raya Idul Fitri 1442 H harga daging sapi naik dari Rp125 ribu menjadi Rp150 ribu per kilogram akibat tingginya permintaan.
Foto: ANTARA/Asprilla Dwi Adha
Calon pembeli memilih daging sapi di Pasar Agung, Depok, Jawa Barat, Selasa (11/5/2021). Menurut pedagang, dalam dua hari terakhir menjelang Hari Raya Idul Fitri 1442 H harga daging sapi naik dari Rp125 ribu menjadi Rp150 ribu per kilogram akibat tingginya permintaan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Lembaga riset  Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan, kenaikan harga beberapa komoditas pangan yang pasca Idul Fitri patut diwaspadai. Lonjakan kasus positif Covid-19 di beberapa wilayah Indonesia juga dikhawatirkan dapat memengaruhi fluktuasi harga beberapa komoditas pangan.

Data Indeks Bulanan Rumah Tangga dari CIPS menunjukkan, harga tujuh dari sembilan komoditas pokok mengalami kenaikan yang pesat. Kenaikan ini juga mendukung laju inflasi di bulan Mei hingga mencapai 0,38 persen di sektor makanan dan minuman.

Peneliti CIPS Indra Setiawan memaparkan, di antara komoditas tersebut, harga daging mengalami kenaikan yang paling ekstrem. Pasalnya, dari bulan April ke Mei 2021, harga daging naik sekitar tujuh persen, jauh lebih tinggi dibanding barang lainnya. Harga daging sapi meningkat dari Rp 154.750 menjadi Rp 165.900.

Harga ayam juga merangkak naik dari Rp 36.900 ke Rp 40.722. Adapun kenaikan ini bisa disebabkan beberapa faktor, seperti adanya peningkatan permintaan yang terjadi semenjak awal bulan Ramadan.

 

"Peningkatan ini jauh lebih pesat dibandingkan Ramadan tahun lalu dan berbarengan dengan permintaan menjelang Idul Adha," katanya dalam keterangan resminya, Rabu (23/6).

Selain itu, ia mengatakan, para pedagang tidak memiliki stok daging yang mencukupi. Mereka terpaksa menyembelih sapi betina, yang seharusnya mampu bereproduksi, untuk menjaga ketersediaan sapi jantan di Idul Adha. Kebijakan impor juga ditengarai menjadi penyebab kenaikan harga daging. Pasalnya, sapi di Australia sekarang sedang anjlok ketersediaannya.

Sementara itu kenaikan harga ayam juga dipengaruhi sengketa Indonesia dengan World Trade Organization (WTO) perihal impor ayam dari Brazil. Impor ayam dari sana pun terus menurun. Selain itu, harga ayam juga didorong mahalnya harga pakan dan jagung yang ada di atas rerata Rp 3.000 dan Rp 5.000 untuk masing-masing. Kekurangan pasokan ini bisa menjadi faktor inflasi ayam yang cukup tajam.

Ia menuturkan, kenaikan harga ayam juga diikuti kenaikan harga telur. Harga telur naik sebesar tujuh persen dari Rp 26.619 ke Rp 28.170. Kenaikan harga ini terjadi setelah sebelumnya harga telur jatuh cukup dalam. Indra berpendapat kenaikan harga ini disebabkan oleh naiknya konsumsi telur jelang Idul Fitri. Kenaikan ini cukup pesat, hingga bisa menyaingi penurunan harga di periode sebelumnya.

Adapun harga gula tidak mengalami banyak pergerakan dari segi harga, yaitu sebesar Rp 18.000 selama satu bulan terakhir. Harga gula di Indonesia pun justru cenderung menurun akibat masuknya gula impor.  Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) juga menunjukkan bahwa harga gula naik dari Rp 16.400 dari Rp 18.000 pada bulan Mei.“Namun, harga gula bisa menurun. Beberapa faktor, seperti serangan hama juga dapat menjatuhkan harga gula kedepannya. Kami menyimpulkan bahwa perbedaan ini disebabkan oleh impor yang lebih berefek ke harga gula di daerah,” jelas Indra.

Tren pergerakan harga beras juga tidak jauh berbeda dengan pergerakan harga gula. Harga beras hanya sedikit meningkat dari Rp 12.508 ke Rp 12.589.“Dapat disimpulkan bahwa bulan Mei dipenuhi dengan inflasi komoditas. Namun, inflasi yang ada belum tentu menggambarkan peningkatan dari permintaan konsumen," ujar dia.

Permintaan yang meningkat hanya dapat dilihat dari perubahan harga daging. Di sisi lain, sejumlah komoditas masih cenderung dipengaruhi oleh kebijakan impor dan guncangan eksternal. Indra menilai, pemerintah perlu menganalisis masalah rantai pasokan dan ketersediaan di lapangan guna mencegah pergerakan harga yang ekstrim dan mengontrol inflasi.

Selain itu, pemerintah juga harus mengamati kemampuan konsumsi konsumen dalam membeli barang penting tersebut. Membaca pasar menjadi penting untuk menebak perilaku pembelian dalam mendekati hari raya yang akan datang. Pada akhirnya, kebijakan yang diambil pun dapat menyesuaikan dengan pergerakan harga.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement