REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 12 persen. Hal ini akan dituangkan melalui revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).
Kementerian Keuangan menyebutkan, nantinya PPN barang-barang yang dibutuhkan publik bisa turun menjadi lima atau tujuh persen, yang awalnya dikenakan sebesar 10 persen.
Sebaliknya, barang-barang yang tidak dibutuhkan masyarakat banyak, tetapi dikonsumsi oleh masyarakat kelas atas dan yang sifatnya terbatas, maka dapat dikenakan pajak yang lebih tinggi.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai, kebijakan PPN itu tidak tepat per barang karena berlaku secara umum. Kebijakan untuk mendapatkan pajak dari barang mewah yang spesifik sudah ada melalui PPNBM (pajak penjualan atas barang mewah).
Bahkan, saat ini pemerintah memberikan diskon PPNBM untuk kendaraan bermotor sebesar 0 persen pada saat pandemi. "Artinya, kebijakan pemerintah mengubah tarif PPN akan berisiko terhadap kenaikan harga pada barang mendorong inflasi, dan menurunkan daya beli masyarakat," ujar Bhima kepada Republika.co.id, Selasa (8/6).
Menurut Bhima, pengawasan pada objek PPN yang berbeda-beda tarifnya menjadi sulit dan secara administrasi lebih mahal. Ini juga menimbulkan risiko barang ilegal tanpa tarif PPN yang sesuai.
Kebijakan ini juga kontraproduktif terhadap upaya untuk pemulihan ekonomi karena kenaikan PPN dibarengi oleh rencana pencabutan subsidi lainnya (subsidi listrik, pengurangan bansos, dll).
Ia memandang kebijakan perpajakan pemerintah saat ini tidak pro rakyat. Turunnya rasio pajak menjadi 8,3 persen pada 2020 salah satunya karena pemerintah, di satu sisi, terlalu banyak memberikan obral insentif pajak bagi korporasi, termasuk kelas menengah ke atas.
Saat ini, tarif PPh badan turun, kemudian tax amnesty jilid 2 baru akan diadakan pada 2021-2022. "Sementara untuk menaikkan penerimaan pajak yang akan disasar kelas menengah-bawah dengan PPN. Artinya, kebijakan alternatif pajak untuk mengejar kepatuhan wajib pajak kakap itu lemah sekali pasca tax amnesty 2016. Ini mencederai keadilan pajak," ujar Bhima.
Kebijakan perpajakan yang dianggapnya tepat adalah yang menargetkan WP kelas kakap. Pemerintah seharusnya menggunakan basis data yang ada ditambah pertukaran data antarnegara untuk mengejar WP kakap yang masih belum patuh. Pemerintah juga dapat menutup celah transfer pricing, dan penghindaran pajak lintas negara dengan memperkuat kerja sama antarnegara.
Periode 2016-2020 menjadi periode penegakan aturan pajak yang ketat pasca tax amnesty. Misalnya, pemerintah memiliki akses data ke perbankan untuk melihat nilai transaksi dibandingkan dengan laporan SPT sehingga kalau ada yang tidak sesuai, bisa diselidiki lebih lanjut.
Selain itu, ia juga menyoroti potensi pajak dari perusahaan yang meningkat pesat selama pandemi. "Di negara lain, pemerintahnya mengejar potensi pajak perusahaan over the top secara lebih serius. Padahal, selama pandemi, nilai ekonomi digital naik pesat," kata Bhima.