REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim menilai investasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) akan lebih mahal ketimbang pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) yang pasokannya melimpah di Indonesia.
Dalam diskusi virtual mengenai energi nuklir, Rabu, Herman mengungkapkan investasi untuk membangun PLTN berkapasitas 5.000 MW membutuhkan sekitar Rp 500 triliun atau setara dengan 35 miliar dolar AS.
"Dengan Rp 500 triliun, kita bisa dapat 50-60 GW PV rooftop (panel surya atap) yang menghasilkan hampir 90 TWh (Terra Watt per hour) listrik. Dengan 5.000 MW PLTN hanya menghasilkan 35 TWh per tahun. Hanya setengahnya (panel surya)," katanya.
Selain itu Indonesia juga memiliki potensi sumber EBT melimpah mulai dari sinar matahari, air, panas bumi, angin hingga biomassa. Terlebih, listrik yang dihasilkan dari EBT pun kini justru semakin murah, berbanding terbalik dengan nuklir dari sisi keselamatan.
"Sumber energi kita tidak terlalu kaya karena penduduk kita besar. Namun cukup untuk memenuhi sampai 2050, bahkan bisa sampai tahun 2100 dengan mengandalkan tenaga surya. Atau bahkan lebih, selama matahari masih terbit," katanya.
Herman menambahkan operasional PLTN juga terhitung mahal karena pellet nuklir dipastikan harus diimpor. Hal itu, lanjutnya, akan membuat Indonesia menjadi ketergantungan dengan negara lain.
Demikian pula limbahnya yang harus diekspor karena ketentuannya yang rumit, mulai dari lokasi yang harus 800 meter di bawah tanah hingga perlu diolah oleh lembaga yang punya sertifikasi khusus sebelum bisa dibuang. Dengan biaya-biaya tersebut, menurut dia, harga listrik dari PLTN justru tidak akan kompetitif.
"Soal cost tadi, saya sudah pernah berhitung. Di Indonesia dengan interest rate enam persen saja, itu (harga listrik) tidak akan lebih rendah dari 15 sen dolar AS," katanya.
Biaya pun akan bertambah jika memasukkan faktor keselamatan. Misalnya, pembangunan PLTN harus dilakukan di lahan yang tahan gempa sampai 8 SR."Nuklir itu tidak murah kalau memperhitungkan risiko kecelakaannya. Konsultan Jepang pernah mempresentasikan bahwa perlu 200 miliar dolar AS untuk manajemen risiko kecelakaan Fukushima. Tapi dari hitungannya, 5.000 miliar dolar AS ruginya dengan loss of opportunity dari bisnisnya," ujar Herman.