REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5 persen sampai 5,3 persen pada tahun ini. Pemerintah pun optimistis target tersebut meningkat pada tahun depan sebesar 5,2 persen sampai 5,8 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, target tersebut telah mencerminkan optimisme arah pemulihan ekonomi dan potensi akselerasi pertumbuhan ekonomi dari reformasi struktural. Adapun rentang angka proyeksi tersebut, juga secara realistis mencerminkan risiko ketidakpastian yang masih tinggi.
"Di satu sisi, optimisme pemerintah didasarkan pada tren pemulihan ekonomi yang semakin kuat," ujarnya saat Rapat Paripurna DPR, Senin (31/5).
Sri Mulyani menjelaskan berbagai leading indicator terus mengalami peningkatan. Adapun indeks keyakinan konsumen sudah pada level optimis (di atas 100) dan indeks penjualan ritel juga terus meningkat. Kemudian, PMI manufaktur mencatat ekspansi dalam enam bulan berturut-turut dan konsumsi listrik industri serta bisnis terus membaik dan telah tumbuh positif.
"Momentum pemulihan ekonomi tersebut diharapkan akan terus berlanjut pada 2022," katanya menjelaskan.
Menurutnya, proyeksi pemerintah tentang pertumbuhan ekonomi juga sejalan dengan asesmen yang dilakukan oleh berbagai lembaga internasional, seperti Bank Dunia, OECD, ADB, IMF, dan Consensus Forecasts. Adapun asesmen dari berbagai lembaga internasional tersebut terhadap perekonomian Indonesia masih bervariasi dalam rentang 4,3 sampai 4,9 persen terhadap outlook pertumbuhan ekonomi 2021 dan lima persen sampai 5,8 persen terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi 2022.
Meskipun momentum pemulihan yang sedang terjadi memberikan dasar optimis, pemerintah juga sepakat dengan pandangan dewan terkait perlunya mengantisipasi potensi risiko yang mungkin terjadi seiring pemulihan ekonomi domestik dan global. Adapun berbagai risiko, termasuk yang bersumber dari lingkungan eksternal, masih akan sangat tinggi.
Selain dari perkembangan Covid-19, pemulihan ekonomi global diperkirakan tidak akan seragam (uneven recovery). Kemudian, akses masing-masing negara terhadap suplai vaksin masih cenderung sangat timpang serta kemampuan negara-negara belanja stimulus juga sangat berbeda-beda.
Indonesia juga perlu mengantisipasi keberlanjutan rebalancing economy Tiongkok akan memengaruhi fluktuasi harga komoditas dan memberi dampak negatif pada Indonesia. Selain itu, berbagai permasalahan global, seperti proteksionisme, tensi geopolitik, dan perubahan iklim juga harus terus diwaspadai.
"Pemerintah sependapat bahwa risiko-risiko ini harus dimitigasi dengan berbagai langkah kebijakan yang antisipatif," ucapnya.
Dalam jangka pendek, langkah utama mengantisipasi risiko global tentunya memastikan penanganan pandemi dan pelaksanaan vaksinasi berjalan efektif serta pemulihan ekonomi dapat berlangsung cepat. Selain itu, reformasi struktural juga harus berhasil agar kepercayaan investor terhadap Indonesia dapat dijaga.
"Salah satu langkah reformasi struktural yang krusial untuk mengantisipasi gejolak eksternal masa mendatang untuk membangun perekonomian yang lebih bernilai tambah serta mendorong diversifikasi ekspor, baik dari komoditas maupun mitra dagang," ungkapnya.