REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan Indonesia baru akan terlepas dari belenggu resesi pada kuartal II 2021. Namun pertumbuhan tersebut diproyeksi masih akan berada di bawah target pemerintah.
"Kuartal II 2021 kemungkinan perekonomian sudah keluar dari resesi, namun pertumbuhan ekonomi hanya akan dikisaran 5 persen yoy, atau lebih rendah dari target Presiden sebesar 7 persen," kata Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto, Kamis (6/5).
Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2021 masih mengalami kontraksi. Secara year on year (yoy), pertumbuhan ekonomi minus 0,74 persen, sedangkan dibanding kuartal sebelumnya minus 0,96 persen.
Menurut Eko, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih mengalami minus karena secara keseluruhan laju konsumsi masih negatif. Hal tersebut terjadi akibat daya beli masyarakat yang sangat melemah selama pandemi.
Selain itu, laju investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) juga masih negatif. Padahal komponen konsumsi dan investasi ini menyumbang 89 persen pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2021.
Eko menilai, upaya pemerintah dalam memulihkan ekonomi masih perlu didorong secara optimal, terutama dari sisi penanganan kesehatan serta percepatan realisasi Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Eko melihat pemulihan ekonomi berjalan lambat karena dorongan pemulihan konsumsi belum kuat.
"Di samping itu dukungan sektor perbankan masih belum optimal, kredit rendah dan bahkan negatif," tutur Eko.
Untuk mendorong ekonomi agar segera pulih, menurut Eko, pemerintah harus tetap melakukan perubahan skema stimulus fiskal pada program bantuan sosial yang lebih tepat sasaran, jumlahnya yang memadai serta pilihan program yang efektif. Program-program yang memiliki kecenderungan tidak efektif dan tumpang-tindih sasaran pun harus dihapuskan.
"Ini karena kalau dibiarkan, bantuan sosial akan memberikan implikasi naiknya simpanan masyarakat dan bukan konsumsi," terang Eko.
Selain itu, pemerintah harus memperioritaskan insentif fiskal khususnya di sektor usaha dan sektor-sektor yang masih mengalami pertumbuhan negatif seperti hotel, restoran dan angkutan. Pemerintah juga perlu melakukan perubahan mendasar pada postur APBN mengingat beberapa kondisi makro telah berubah, termasuk mengantisipasi masuknya gelombang serangan Covid-19 kedua maupun varian baru Covid-19.