REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Riset dan SDM Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP), KKP, Sjarief Widjaja mengatakan lele merupakan jenis ikan yang diminati masyarakat Indonesia. Namun, kapasitas media pembesaran dan pakan ikan lele kerap menjadi permasalahan yang dialami pembudidaya sehingga produktivitas panen komoditas satu ini sulit dioptimalkan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Pusat Pelatihan dan Penyuluhan Kelautan dan Perikanan (Puslatluh KP) menyelenggarakan Pelatihan Pembesaran Ikan Lele Sistem Bioflok bagi masyarakat di Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), dan Kabupaten Malaka.
"Pelatihan bertujuan memasyarakatkan sistem bioflok dalam kegiatan perikanan budidaya yang membantu dalam efisiensi dan produktivitas budidaya lele," ujar Sjarief dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (21/4).
Hal ini dikarenakan pada sistem bioflok, ditumbuhkan mikroorganisme pengolah limbah budidaya di dalam kolam pembesaran ikan yang berfungsi mengolah limbah budidaya menjadi gumpalan-gumpalan kecil yang disebut sebagai flok. Flok tersebut kemudian dapat dimanfaatkan sebagai pakan alami lele.
Sjarief menyebut pelatihan bertujuan untuk memasyarakatkan sistem bioflok yang membantu dalam efisiensi dan produktivitas budidaya lele. Pasalnya, budidaya ikan sistem bioflok memiliki lebih banyak keunggulan dibandingkan budidaya ikan dengan sistem konvesional.
Dengan sistem bioflok, budidaya bisa diterapkan di lahan sempit dan kolam yang kecil, memiliki padat tebar yang tinggi dan kolamnya tidak menimbulkan bau yang tidak sedap. Tak hanya itu, budidayanya dapat dilakukan pada tempat tertutup, lebih hemat lahan, air dan pakan, serta produktivitasnya tinggi,” ucapnya.
"Selain itu, ikan yang dibudidayakan dengan sistem bioflok dagingnya juga lebih hiegenis dan memiliki rasa lebih enak," kata Sjarief.