Jumat 02 Apr 2021 17:16 WIB

Bungaran Saragih: RI Potensi Ekspor Jagung dan Ternak

Indonesia harus mampu mengendalikan mikotoksin pada jagung.

Petani memanen jagung miliknya. ilustrasi
Foto: ANTARA/Arnas Padda
Petani memanen jagung miliknya. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Menteri Pertanian Bungaran Saragih menyatakan Indonesia memiliki potensi untuk mengekspor jagung maupun ternak. Hal ini bisa dilakukan jika Indonesia mampu mengendalikan mikotoksin pada komoditas tersebut.

"Pengendalian mikotoksin pada jagung sangat sulit, tidak mudah, tetapi kalau tidak dikendalikan akibatnya buruk sekali, baik pada tanaman, hewan dan manusia sebagai pengguna akhir," ujarnya di Jakarta, Jumat (2/4).

Baca Juga

Pengendalian mikotoksin pada jagung, lanjutnya, harus dilakukan mulai dari proses budidaya atau penanaman, saat panen serta pascapanen hingga distribusi dengan menerapkan praktek budidaya yang baik (GAP) dan praktek pengolahan yang baik (GMP). Menurut dia, Amerika Serikat saat ini merupakan negara yang berhasil menanggulangi kandungan mikotoksin yang berbahaya pada jagung sehingga negara tersebut menjadi produsen serta eksportir jagung terbesar di dunia.

"Semoga Indonesia bisa mengendalikan mikotoktsin pada jagung, karena hal itu sangat strategis untuk pengembangan poultry dan ternak dalam negeri. Ada potensi untuk ekspor ternak dan jagung kalau bisa kendalikan mikotoksin," katanya.

Sementara itu pakar nutrisi pakan Prof Dr Ir Budi Tangendjaja menyatakan, mikotoksin, di antaranya berupa aflatoksin merupakan senyawa sekunder pada jagung yang dihasilkan jamur dan beracun bagi ternak. Jagung paling tinggi kandungan aflatoksin, lanjutnya, risiko kalau ada mikotoksin, aflatoksin terhadap semua jenis ternak yakni akan merusak hati, kekebalan tubuh ternak turun hingga merusak organ lain, tak hanya itu. 

Risiko tersebut juga bisa menimpa manusia sebagai pemanfaat akhir. "Ini harus diperhatikan agar mikotoksin bisa dikendalikan karena akan ke ayam, ternak dan manusia sebagai pengguna. Kalau jamur bisa dicegah mikotoksin bisa dicegah," katanya pada Webinar bertema Pentingnya Pengedalian Mikotoksin Pada Jagung Pakan yang digelar Tabloid Agrina.

Budi menyatakan, mikotoksin, bisa tumbuh di lapangan saat jagung ditanaman tercemar jamur, saat panen jamur berhenti namun saat di simpan di gudang bisa tumbuh lagi jamurnya sehingga kandungan, mikotoksin akan tinggi lagi. Upaya pengendalian mikotoksin menurut dia harus menyeluruh mulai dari proses penanaman yakni menggunakan bibit yang tahan jamur serta perawatan lahan dengan menjaga kebersihannya, terutama dari munculnya jamur.

Sedangkan pada saat proses pemanenan pengeringan harus secepatnya dilakukan, setelah dipipil dalam tiga hari harus kering karena rata-rata jamur akan tumbuh dalam waktu tiga hari setelah disimpan. Jika sangat diperlukan, tambahnya, bisa memanfaatkan bahan kimia penghambat jamur.

"Kadar air pada jagung di Indonesia 16-18 persen beresiko menghasilkan mikotoksin, ini harus dikendalikan," ujarnya.

Budi menyatakan, untuk membantu petani mengendalikan mikotoksin pada jagung maka pemerintah bisa menyalurkan benih bermutu yang tahan jamur serta mengembangkan mesin-mesin pengering bagi petani.Selain itu, lanjutnya, pemerintah perlu merevisi standar kualitas jagung di Indonesia yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) karena hanya menetapkan satu standar berbeda dengan AS yang mencantumkan lima jenis.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement