REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan adanya tren restrukturisasi kredit yang semakin melandai. Adapun tren tersebut berlanjut hingga saat ini sejak akhir tahun lalu.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan kondisi ini sejalan dengan program vaksinasi dan mulai pulihnya ekonomi.
“Hal ini menandakan bahwa sektor usaha mulai bangkit dan pemohon restrukturisasi semakin menurun,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (30/3).
OJK menjelaskan pentingnya peran restrukturisasi untuk meringankan beban debitur yang belum pulih dari dampak pandemi Covid-19. Adapun restrukturisasi juga diperlukan untuk menekan tingkat non performing loan atau kredit bermasalah dan menjaga permodalan bank, sehingga stabilitas sektor jasa keuangan dapat terjaga dengan baik.
“Jika tidak direstrukturisasi, debitur tersebut akan default dan memberikan dampak besar bagi kinerja perbankan/perusahaan pembiayaan dan akan mempengaruhi stabilitas sistem keuangan serta perekonomian nasional,” ucapnya.
OJK telah memperpanjang relaksasi restrukturisasi kredit hingga Maret 2022 dan restrukturisasi pembiayaan hingga April 2022 seiring dan sinergis dengan kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia.
"Nilai outstanding (dikurangi nilai pelunasan) restrukturisasi kredit untuk sektor perbankan sampai Januari 2021 mencapai Rp 825,8 triliun untuk 6,06 juta debitur," ucapnya.