REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Marves Safri Burhanuddin menilai metode alternatif geomembran bisa meningkatkan produktifitas dan kualitas garam. Ia mengatakan Australia sudah mencoba metode ini dan menjadi percontohan.
Safri menjelaskan Australia dalam membuat garam untuk pertama kalinya tidak dipanen melainkan menjadi alas untuk membuat garam. “Pada dasarnya (kedua metode) memproduksi garam tidak bersentuhan dengan lumpur (pada bagian dasarnya)” ujar Safri, Senin (29/3).
Dia menanbahkan produksi garam selanjutnya di atas meja garam tersebut, maka panen garam pun di atas meja garam. “Panen garamnya pun menggunakan traktor, bukan papan keruk seperti yang dilakukan di dalam negeri,” terangnya.
Metode ini membutuhkan lahan yang cukup luas. Dia menerangkan dalam produksi garam menggunakan meja garam dibutuhkan 1 hektar lebih untuk setiap petak garam. Selain itu, proses panen yang dilakukan membutuhkan waktu yang lebih lama, hingga 1 satu kali panen dalam satu tahun.
“Di kita, belum sempat membentuk meja garam sudaj dipanen, sehingga kadar NaCl belum tinggi dan kandungan airnya pun masih tinggi, karena petani garam membutuhkan pendapatan segera,” terangnya.
Walaupun masa panen yang lebih lama, Safri mengatakan bahwa prospek metode meja garam menjanjikan. “Prospek penjualan (hasil) dan prospek jangka panjangnya clear,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Muhammad Jakfar Sodikin Ketua Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI) mengatakan meja garam merupakan metode produksi garam sistem portugis, yang mana membuat alas garam dahulu sebelum produksi.
“Di madura pernah diterapkan membuat meja garam satu bulan dahulu lalu di atasnya membuat garam untuk dipanen, namun sekarang menggunakan plastik HDPE sebagai alasnya,” tuturnya.