Selasa 30 Mar 2021 09:29 WIB

Genjot PNBP, KKP Digitalisasi Layanan Perikanan Tangkap

Digitalisasi bertujuan untuk meningkatkan keselamatan nelayan saat melaut

Rep: m nursyamsi/ Red: Hiru Muhammad
Pekerja mengumpulkan ikan hasil tangkapan nelayan di tempat pelelangan ikan Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, Minggu(31/1/2021). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) perikanan tangkap pada tahun 2020 mencapai Rp600,4 miliar, meningkat dari tahun 2019 yang hanya mencapai sebesar Rp521,37 miliar.
Foto: Antara/Dedhez Anggara
Pekerja mengumpulkan ikan hasil tangkapan nelayan di tempat pelelangan ikan Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, Minggu(31/1/2021). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) perikanan tangkap pada tahun 2020 mencapai Rp600,4 miliar, meningkat dari tahun 2019 yang hanya mencapai sebesar Rp521,37 miliar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melakukan digitalisasi sejumlah layanan di pelabuhan guna mendukung pelaksanaan program terobosan, yakni peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sub sektor perikanan tangkap. Digitalisasi bertujuan untuk meningkatkan keselamatan nelayan saat melaut hingga memperkuat pendataan hasil produksi.

KKP melalui Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) memasang alat Wahana Keselamatan dan Pemantauan Objek Berbasis Informasi - Automatic Identification System (Wakatobi AIS) pada sepuluh kapal nelayan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Karangantu Serang, Banten. 

Kepala PPN Karangantu Asep Saefuloh mengatakan pemasangan dilakukan bersama LPTK dan Solusi247 dan didukung penuh oleh Pusat Riset Kelautan (Pusriskel), Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) dan Direktorat Kepelabuhanan DJPT.

Wakatobi AIS merupakan perangkat AIS Class B yang dapat mengirim posisi kapal secara simultan sehingga keberadaan kapal dapat diketahui oleh kapal-kapal lain di sekitarnya dan stasiun monitoring di darat. 

"Kegunaannya sebagai alat keselamatan nelayan apabila kapal yang mereka operasikan dalam kondisi bahaya," ujar Asep dalam siaran pers di Jakarta, Senin (29/3).

Kata Asep, pemasangan Wakatobi AIS sangat mudah dengan memasang antena di posisi tertinggi kapal lalu memasang alat utama AIS pada posisi yang mudah dijangkau oleh awak kapal. Sebagai perbandingan, produk AIS yang lain membutuhkan sambungan listrik ke catu daya seperti ke aki atau adaptor DC juga sambungan kabel ke antena GPS yang dipasang terpisah.

Asep menilai hasil inovasi riset Loka Perekayasaan Teknologi Kelautan (LPTK) Wakatobi sangat cocok untuk kapal-kapal nelayan Karangantu yang sebagian besar merupakan kapal bagan. Asep mengatakan nelayan di sana kerap menangkap ikan di lokasi yang ramai pelayaran kapal-kapal besar dari Cilegon dan Merak. Keberadaan kapal nelayan tentunya berisiko tertabrak atau terkena hempasan ombak tinggi akibat kapal besar yang melintas.

"Kami sangat mendukung implementasi alat keselamatan nelayan di kapal-kapal nelayan terutama nelayan di wilayah pengawasan kami. Terlebih dipilihnya PPN Karangantu merupakan kali pertama dimanfaatkannya alat keselamatan nelayan hasil temuan para peneliti LPTK Wakatobi," ungkap Asep.

Dalam pemasangan WakatobiAIS, lanjut Asep, terlebih dahulu dilakukan pengecekan kapal guna menentukan kapal memenuhi syarat. Instalasi di kapal hanya membutuhkan waktu 7 hingga 10 menit dan alat dapat langsung dinyalakan dan otomatis kapal dapat dilihat posisinya di layar monitor. 

Selain melakukan instalasi transmiter AIS di kapal, tim juga melakukan instalasi sistem penerima AIS yang dipasang di kantor Pelabuhan. Sistem ini akan memudahkan operator Pelabuhan mengawasi dan memberikan pelayanan terhadap aktivitas kapal perikanan di PPN Karangantu. 

Kepala LPTK Wakatobi Akhmatul Ferlin, mengatakan sistem WakatobiAIS terdiri atas unit di kapal (AIS transmitter, perangkat AIS); unit di darat (Menara antenna AIS receiver+ mini PC, Modem); dan layar ship monitoring Wakatobi AIS dapat mengidentifikasi tiga masalah utama yang dihadapi nelayan dalam melaut. Pertama, kurangnya kesiapan operasi nelayan dalam hal penguasaan informasi mengenai kondisi meteorologi di area target penangkapan ikan. 

"Kedua, perlunya peningkatan keterpantauan armada-armada nelayan tradisional oleh otoritas di darat untuk mendukung ekstraksi SDA yang berkelanjutan, sekaligus sebagai data penting dalam proses rescue saat para nelayan mengalami musibah di laut. Ketiga, sulitnya nelayan tradisional dalam mengabarkan kondisi darurat yang mereka alami akibat terbatasnya moda komunikasi di laut, sehingga tertundanya upaya penyelamatan," ujar Akhmatul.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement