Jumat 19 Mar 2021 11:35 WIB

OECD Soroti Pendapatan Perpajakan Indonesia sangat Rendah

Indonesia dinilai terlalu murah hati memberikan pengecualian dan diskon pajak.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolandha
Warga membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) melalui mobil keliling pajak Bantul di Kalurahan Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta, Rabu (30/9). Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menyoroti pendapatan perpajakan Indonesia yang rendah dibanding negara anggota G20.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Warga membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) melalui mobil keliling pajak Bantul di Kalurahan Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta, Rabu (30/9). Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menyoroti pendapatan perpajakan Indonesia yang rendah dibanding negara anggota G20.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menyoroti pendapatan perpajakan Indonesia yang rendah dibanding negara anggota G20. Padahal negara sedang menggelontorkan anggaran yang cukup besar untuk menangani pandemi.

Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria mengatakan Indonesia memiliki kepatuhan pajak yang buruk dan terlalu murah hati dalam memberikan pengecualian dan diskon pajak.

“Dengan kurang dari delapan juta orang yang membayar pajak penghasilan (PPh), artinya rasio perpajakan Indonesia terhadap PDB hanya 11,9 persen pada 2018, angka tersebut jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata negara OECD sebesar 34,3 persen,” ujarnya saat acara Peluncuran Survei Ekonomi OECD Indonesia, Kamis (18/3) malam.

Tak hanya itu, OECD juga menilai pemerintah Indonesia memiliki kecenderungan melakukan pengurangan perpajakan dalam jangkauan yang luas. Dia pun menilai usai perekonomian Indonesia terlepas dari resesi, otoritas fiskal perlu lebih mendorong penerimaan perpajakan.

 

Gurria pun memberikan rekomendasi pemerintah agar nantinya setelah perekonomian Indonesia mulai pulih dari resesi, otoritas fiskal perlu mendorong penerimaan perpajakan, salah satunya sektor properti yang dinilai memiliki kontribusi cukup rendah hanya dua persen dari keseluruhan pendapatan pajak. 

Adapun jumlah tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata kontribusi sektor properti terhadap penerimaan perpajakan negara OECD sebesar enam persen. OECD pun mendorong pemerintah untuk meninjau kembali persoalan ini.

"Hal itu akan membantu untuk menyelesaikan masalah kesenjangan yang terjadi sekaligus memberikan kontribusi terhadap kondisi keuangan negara," jelasnya.

Menurut Gurria, jika penerimaan pajak bisa dimaksimalkan, maka hal tersebut akan sangat membantu kondisi keuangan negara. Tak hanya dari sektor properti, OECD menilai pemerintah juga perlu meningkatkan tarif pajak sektor lain, misalnya produk tembakau. 

“Meningkatkan kepatuhan pajak akan sangat membantu negara meningkatkan pendapatan. Menutup celah dan meningkatkan kepatuhan terhadap pajak penjualan juga bisa menjadi salah satu cara untuk membantu menopang pendapatan,” ucapnya.

“Hal itu akan membantu untuk menyelesaikan masalah kesenjangan yang terjadi sekaligus memberikan kontribusi terhadap kondisi keuangan negara,” ujar Gurria.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement