REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membangun panel listrik tenaga surya terapung di waduk dan danau terlantar. Ini dilakukan sebagai upaya mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan pembangkit fosil.
"Kami manfaatkan waduk-waduk ataupun danau-danau yang saat ini idle untuk kemudian dipasang floating solar photovolatic (PV)," kata Direktur Bioteknologi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Andriah Feby Misna di Jakarta, Senin (8/3).
Pemerintah memilih mengembangkan ladang listrik terapung untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca mengingat potensi sinar matahari di Indonesia berlangsung sepanjang tahun. Potensi listrik surya terapung di Indonesia mencapai 12 Giga Watt (GW) tersebar di 28 lokasi.
Pulau Sumatera punya tiga lokasi dengan potensi 7,15 GW. Kemudian Jawa dan Bali sebesar 1,9 GW tersebar di 13 lokasi, Kalimantan 26,7 Mega Watt (MW) ada di satu lokasi, lalu Sulawesi 2,9 GW di enam lokasi.
Kemudian wilayah Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara memiliki potensi ladang listrik surya terapung sebesar 39,4 MW tersebar di lima lokasi.
"Potensi ini cukup besar karena Indonesia punya banyak waduk dan danau yang selama ini tidak termanfaatkan dengan baik," kata Andriah.
Selain ladang panel surya terapung, pemerintah juga mendorong perusahaan-perusahaan tambang untuk memanfaatkan lahan reklamasi sebagai lokasi PLTS skala besar. Target listrik surya dari pemanfaatan lahan bekas tambang mencapai 10,7 GW pada tahun 2025.
PT Bukit Asam (Persero) Tbk, emiten BUMN batu bara, berencana mengembangkan bisnis listrik surya berdaya 200 MW di bekas lahan tambang. Bahkan sejumlah perubahan tambang swasta juga melakukan hal yang sama dalam upaya pengembangan energi ramah lingkungan.
"Indonesia punya pekerjaan berat untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 314 hingga 398 ton karbondioksida pada tahun 2030. Salah satu upayanya adalah melalui pengembangan energi baru dan terbarukan," kata Andriah.