Rabu 10 Feb 2021 14:34 WIB

Permintaan Global Pulih, Harga Pabrikan China Kembali Naik

Indeks harga produsen (PPI) naik 0,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Harga jual dari pabrikan China ke grosiran mengalami kenaikan secara tahunan pada Januari untuk pertama kalinya dalam setahun. Pertumbuhan manufaktur yang kuat selama berbulan-bulan di China hingga mendorong biaya bahan baku lebih tinggi menjadi faktor penyebabnya.
Foto: Chinatopix via AP
Harga jual dari pabrikan China ke grosiran mengalami kenaikan secara tahunan pada Januari untuk pertama kalinya dalam setahun. Pertumbuhan manufaktur yang kuat selama berbulan-bulan di China hingga mendorong biaya bahan baku lebih tinggi menjadi faktor penyebabnya.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Harga jual dari pabrikan China ke grosiran mengalami kenaikan secara tahunan pada Januari untuk pertama kalinya dalam setahun. Pertumbuhan manufaktur yang kuat selama berbulan-bulan di China hingga mendorong biaya bahan baku lebih tinggi menjadi faktor penyebabnya.

Indeks harga produsen (PPI) naik 0,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya, menurut Biro Statistik Nasional (NBS). Laju kenaikan ini tercepat sejak Mei 2019, tapi masih sedikit tertinggal dari kenaikan 0,4 persen yang diperkirakan dalam jajak pendapat para analis Reuters. Pada Desember, PPI sempat turun 0,4 persen.

Sementara itu, harga konsumen secara tidak terduga merosot ke dalam deflasi pada Januari. Ini pertama kalinya harga hulu mengalami kenaikan lebih cepat dibandingkan biaya hilir dalam lebih dari dua tahun terakhir.

Menurut Analis ANZ Betty Wang, harga pabrik yang kembali mengalami inflasi dikarenakan adanya peningkatan bahan baku pada hulu. "Selama beberapa bulan mendatang, PPI dapat mengalami perpanjangan tren kenaikan secara positif," katanya, seperti dilansir Reuters, Rabu (10/2).

Pabrik-pabrik di China diketahui sudah mengalami pemulihan menakjubkan yang didorong oleh ekspor sepanjang 2020. Faktor penyebabnya, permintaan global yang meningkat terhadap produk elektronik rumah tangga dan barang-barang anti-epidemi, ketika manufaktur negara lainnya berjuang dengan kebijakan lockdown.

Perekonomian China diperkirakan tumbuh 8,4 persen pada tahun ini, menyusul kenaikan 2,3 persen pada 2020 setelah pandemi Covid-19 memaksa negara tersebut tutup hampir sepanjang kuartal pertama tahun lalu.

Tapi, sektor manufaktur diperkirakan masih akan mengalami disrupsi. Khususnya seiring dengan gelombang kedua penyebaran virus corona, meskipun sebagian besar provinsi sudah menerapkan kebijakan isolasi.

Beberapa otoritas regional meluncurkan kebijakan ketat, termasuk karantina rumah dan pembatasan perjalanan untuk menahan wabah terburuk di China sejak Maret 2020. Dampaknya, jumlah kasus baru yang ditularkan di dalam negeri sudah menurun signifikan sejak awal Februari ini.

Sementara itu, data resmi menunjukkan, aktivitas pabrik China tumbuh dengan laju paling lambat dalam lima bulan terakhir pada Januari. Hal ini mencerminkan dampak wabah terhadap produksi dan transportasi ketika negara tersebut berusaha menahan penyebaran virus menjelang liburan Tahun Baru Imlek.

Indeks harga konsumen (CPI) turun 0,3 persen pada Januari dibandingkan tahun sebelumnya, menyusul kenaikan 0,2 persen pada Desember. Deflasi ini kemungkinan akan berbalik tajam pada Februari seiring permintaan Tahun Baru Imlek, kata analis Capital Economics. “CPI kemungkinan meningkat sekitar dua persen pada akhir kuartal kedua,” kata mereka dalam sebuah catatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement