Rabu 20 Jan 2021 16:37 WIB

Ketidakpastian Masih Tinggi, BI Disarankan Tahan Suku Bunga

Dari ketersediaan likuiditas, bank masih sulit menyalurkannya ke sektor produktif.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) berpandangan, Bank Indonesia (BI) harus menahan suku bunga pada acuan 3,75 persen pada bulan ini. Sebab, situasi masih dipenuhi ketidakpastian di tengah pandemi Covid-19.
Foto: Republika/Prayogi
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) berpandangan, Bank Indonesia (BI) harus menahan suku bunga pada acuan 3,75 persen pada bulan ini. Sebab, situasi masih dipenuhi ketidakpastian di tengah pandemi Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) berpandangan, Bank Indonesia (BI) harus menahan suku bunga pada acuan 3,75 persen pada bulan ini. Sebab, situasi masih dipenuhi ketidakpastian di tengah pandemi Covid-19.

Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menilai, Indonesia masih harus berjuang untuk menangani situasi pandemi di saat banyak negara sudah berhasil mengelolanya. Kasus harian Covid-19 yang masih tinggi mendorong pemerintah kembali menerapkan tindakan pembatasan sosial sebagai akibat dari kelebihan kapasitas fasilitas kesehatan publik.

Baca Juga

Selanjutnya, eskalasi dalam sektor keuangan dan riil belum ada kejelasan karena bergantung pada situasi pandemi yang sedang berlangsung. "Dengan banyak ketidakpastian yang ada, kami berpandangan BI harus menahan suku bunga acuan pada 3,75 persen pada bulan ini," tutur Riefky dalam keterangan resmi yang diterima Republika.co.id, (20/1).

Dari sisi ketersediaan likuiditas, Riefky menambahkan, sistem perbankan domestik juga masih mengalami kesulitan untuk menyalurkan ke penggunaan yang lebih produktif. Permasalahan terhambatnya kredit saat ini berasal dari sisi permintaan mengingat sektor riil yang terhenti akibat pandemi berkepanjangan.

Riefky menyebutkan, ruang pemotongan suku bunga lebih lanjut masih akan terbuka lebar sepanjang 2021, namun tidak di bulan ini. Mempertahankan suku bunga acuan pada level yang sama diharapkan dapat menjaga kestabilan sektor keuangan sembari tetap mengelola kebijakan makroprudensial secara maksimal.

Riefky mengatakan, tanda-tanda pemulihan yang mendasar belum terlihat di Indonesia, bahkan hingga akhir tahun lalu. Salah satunya dari sisi daya beli yang masih lemah hingga menyebabkan angka inflasi di level 1,68 persen, terendah sepanjang sejarah. Realisasi ini juga lebih rendah dari proyeksi BI, dua hingga empat persen.

Permintaan agregat dan daya beli melemah menjadi topik utama pada 2020. Tapi, Riefky menjelaskan, negara lain sudah mulai bisa mengatur fokus mereka untuk mengatasinya dengan memperbaiki masalah kesehatan Indonesia secara tepat. "Di sisi lain, Indonesia masih terlihat berjuang untuk menangani situasi tersebut," katanya.

Tapi, Riefky memberikan catatan positif terhadap nilai tukar rupiah. Mengakhiri 2020 dengan kinerja sangat baik, rupiah memiliki langkah yang kuat dalam memasuki tahun ini. Sentimen positif oleh investor asing telah menempatkan rupiah di mata uang negara berkembang dengan performa terbaik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement