REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai peraturan baru OJK terkait perpanjangan stimulus dan program restrukturisasi industri keuangan dapat berpeluang mendorong pemulihan ekonomi pada tahun depan. OJK telah menerbitkan POJK Nomor 48 /POJK.03/2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan aturan tersebut sebagai langkah positif OJK untuk memastikan stabilitas industri keuangan dan fungsi intermediasi perbankan tetap berjalan baik.
“Peran OJK kualitas stabilitas keuangan dan fungsi intermediasi perbankan membaik. Jadi banyak sebenarnya peran penting OJK dalam pemulihan ekonomi. Tantangan sekarang bagaimana meningkatkan kinerja kredit dan segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan digital,” ujarnya kepada wartawan, Jumat (18/12).
Terlepas dari adanya perangkat kebijakan baru yang bersifat antisipatif tersebut, Bhima juga mendorong OJK agar fokus menggarap tiga hal dalam mendorong pertumbuhan industri keuangan pada 2021. Adapun tiga hal tersebut antara lain kinerja kredit, konsolidasi perbankan, dan keuangan digital.
Jika dilihat dari kinerja, menurutnya penyaluran kredit OJK harus fokus pada pencegahan kredit macet atau non performing loan (NPL). Dia menilai POJK 48/2020 sudah menunjukkan fokus OJK pada aspek ini melalui perpanjangan pemberian stimulus dan program restrukturisasi, potensi lonjakan NPL pada 2021 bisa dicegah.
“Tantangan sektor keuangan dalam melanjutkan pemulihan ekonomi tahun depan adalah ketika restruktrukturisasi kredit selesai, harus dipastikan bahwa rasio kredit macet perbankan masih terjaga,” ucapnya.
Masih terkait dengan aspek kinerja kredit, Bhima menyebut, OJK juga harus mengawal penyaluran dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) dari pemerintah kepada perbankan.
“Program ini harus dilakukan dengan hati-hati jangan sampai ada moral hazard atau penyimpangan penggunaan dana dari pihak pemerintah maupun perbankan,” ucapnya.
Kedua, terkait konsolidasi perbankan, dia menjelaskan jumlah bank di Indonesia masih sebanyak 115 bank, sehingga dengan jumlah bank yang cukup banyak itu, memang menimbulkan permasalah terkait dengan perebutan dana murah.
“Jadi kenapa bunga kredit susah turun karena cost of fund-nya masih tinggi? Setelah krisis kesehatan berlalu, OJK bisa memaksimalkan melakukan konsolidasi perbankan, khususnya sekarang ketika bank-bank kecil membutuhkan modal lebih besar, OJK bisa memfasilitasi melakukan merger dan akuisisi antar bank,” ucapnya.
Jika jumlah bank di Indonesia makin sedikit, Bhima menyebut perlu ada perbaikan proses transmisi intermediasi dari suku bunga acuan, sehingga kondisi ini akan memberikan peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan pinjaman dengan bunga lebih rendah dari sekarang.
Ketiga, soal keuangan digital. Selama pandemi Covid-19, transaksi keuangan konvensional ke arah digital bergerak lebih cepat dibandingkan kondisi sebelum pandemi.
“Sepanjang tahun 2020, banyak masyarakat yang berpindah dari transaksi konvensional ke digital,” ucapnya.
Menurutnya kondisi ini perlu diantisipasi OJK untuk memaksimalkan fungsi teknologi big data dan Artificial intelligence. Tak hanya dari sisi perangkat kerja, lembaga dan sumber daya manusia internal OJK dalam menghadapi perkembangan digital keuangan, juga perlu terus ditingkatkan.
“Tujuannya agar OJK bisa mengantisipasi perkembangan teknologi industri jasa keuangan, secara eksternal OJK juga harus meningkatkan edukasi ke masyarakat yang menjadi konsumen industri jasa keuangan,” ucapnya.