REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Pertamina (Persero) secara bertahap melakukan transisi energi sesuai dengan perkembangan zaman. Transisi energi atau biasa dikenal sebagai decarbonization sudah menjadi agenda dan target dari perusahaan-perusahaan di dunia, termasuk perusahaan minyak dan gas.
“Decarbonization sejalan dengan apa yang diinginkan investor untuk melakukan investasi di perusahaan-perusahaan yang menerapkan ESG (Environmental, Social & Governance), baik investor sebagai pemegang saham maupun sebagai kreditor,” ujar Iman Rachman, Direktur Strategi Portofolio dan New Ventures Pertamina, saat membuka Pertamina Energy Webinar 2020-Energizing The Energy Transition secara virtual, Selasa (8/12). Webinar ini merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan Pertamina dalam rangka HUT ke 63.
Iman mengungkapkan, dalam proses transisi tersebut, Pertamina mempersiapkan ESG framework sehingga Pertamina bisa lebih agile, adaptif dan sustain menghadapi tantangan era transisi energi sejalan dengan visi Pertamina menjadi US$100 miliar company pada 2024. Penerapan ESG framework menjadi salah satu alternatif pendanaan bagi Pertamina.
“Transisi energi Pertamina demi mencapai target kontribusi pendapatan dari sektor energi baru dan terbarukan sebesar 5.7 persen dari total pendapatan konsolidasi perusahaan pada 2030,” katanya.
Iman berharap Pertamina Energy Webinar-2020 dapat memberikan gambaran kondisi energi di masa mendatang sehingga Pertamina dan pelaku usaha oil and gas bisa melihat peluang dana tantangan di era transisi energi. “Ini juga untuk mendukung terciptanya energi bersih bagi Indonesia,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Arifin Rudiyanto, sebagai BUMN sektor energi terintegrasi, Pertamina telah menjadi pionir transisi energi Indonesia dari yang saat ini berbasis fosil menuju ke energi baru terbarukan (EBT) hingga 2050.
“Pertamina akan menjadi pionir pengembangan renewable energy ke depan. Pertamina sudah masuk ke pembangkit geothermal dan mulai masuk ke biofuel,” kata Arifin.
Implementasi kebijakan EBT dan efisiensi energi, menurut Arifin, tidak hanya mampu menurunkan proporsi penggunaan energi fosil seperti batu bara, namun juga meningkatkan proporsi EBT sebesar 16,8 persen (2024) dan sekitar 20 persen (2050).
Tanpa adanya penambahan cadangan energi fosil, share impor energi dalam negeri mencapai 41 persen (2030) dan 52 persen (2050). Angka tersebut menurun secara signifikan jika dibandingkan dengan kondisi business-as-usual (BAU) sebesar 90 persen (2050).
Arifin menggaris bawahi mengenai pentingnya political will dan dukungan kebijakan dari pemerintah untuk mendukung pengembangan EBT di Indonesia. “Kebijakan fiskal seperti tax allowance dan pembebasan bea masuk untuk EBT dapat membantu investor renewable energy,” katanya.
Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Perubahan Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyatakan Indonesia berkomitmen penuh pada inisiatif dekarbonisasi global dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
Ada sejumlah elemen long term strategy 2050 menuju dekarbonisasi yang dicanangkan pemerintah, antara lain energy efficiency measure, decarbonization of electricity dan electrification of end-uses yang akan mengurangi emisi.
“Pertamina sudah melakukan inisiatif dekarbonisasi melalui efisiensi energi, penggunaan gas flaring, konversi bahan bakar, modifikasi peralatan rendah emisi,” katanya.
Ruandha menambahkan Pertamina sedang melakukan kajian untuk riset pengembangan Green Refinery, pengembangan baterai kendaraan listrik dan konversi di Kilang Plaju menjadi pabrik pengolahan produk turunan CPO menjadi biofuel.
“Artinya, Pertamina sudah melakukan inisiasi kegiatan, kami yakin bisa melakukan dekarbonisasi sesuai dengan rencana jangka panjang 2050,” kata Ruandha.