REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi UGM, Fahmi Radhi menilai laporan keuangan PLN yang anjlok di kuartal III tahun ini disebabkan oleh rugi kurs. Namun, secara kondisi aktivitas penjualan PLN sebenarnya membukukan keuntungan.
Ia menjelaskan kerugian kurs itu disebut unrealized loss yang merupakan kerugian yang dicatat dalam laporan keuangan akibat adanya selisih kurs dari pinjaman jangka panjang yang belum jatuh tempo. Pinjaman dalam mata uang asing harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah, sehingga memunculkan rugi selisih kurs lantaran fluktuasi kurs rupiah.
"Kalau kerugian kurs tidak dimasukkan dalam laporan keuangan, PLN sebenarnya tidak mengalami kerugian, tetapi justru mencatat keuntungan bersih sebesar Rp 11,7 triliun," ujar Fahmi kepada Republika, Kamis (29/10).
Ia menjelaskan, PLN sudah melakukan efisiensi yang dapat menurunkan total beban usaha hingga 3,5 persen dari Rp.231,6 pada September 2019 turun menjadi Rp 223,9. Namun, lantaran beban usaha lebih besar dari pada pendapatan, maka PLN mencatatkan kerugian usaha sebelum subsidi dan kompensasi sebesar Rp 11,6 triliun. Sedangkan pada periode sama 2019 PLN meraup laba sebesar Rp 10,8 triliun.
Ia juga menjelaskan, peningkatan pendapatan PLN sebesar 1,4 persen dari Rp 209,2 pada 30 September 2019 naik menjadi Rp 212,3 triliun pada periode sama 2020. Peningkatan itu dipicu oleh kenaikan penjualan listrik sebesar Rp 205,1 triliun atau naik 1,2 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Selain itu, ada kenaikkan pendapatan penyambungan pelanggan sebesar Rp 4,5 triliun dan pendapatan lain-lain sebesar Rp 0,9 triliun.
Kenaikkan penjualan listrik itu didorong oleh peningkatan jumlah pelanggan sebanyak 3,4 juta yakmo dari 74,5 pelanggan pada 30 September 2019 naik menjadi sebanyak 77,9 pelanggan pada periode sama 2020. "Kenaikkan jumlah pelanggan itu utamanya berasal dari sektor rumah tangga, industri pertanian, dan UMKM," ujar Fahmi.