Ahad 11 Oct 2020 07:15 WIB

Membedah Hoaks UU Cipta Kerja

Presiden Jokowi menyebut aksi unjuk rasa UU Ciptaker dipicu oleh hoaks.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nidia Zuraya
Presiden Joko Widodo.
Foto:

Hoaks ketiga menurut Jokowi, adalah kabar yang menyebut semua cuti, termasuk cuti sakit, cuti kawinan, cuti khitanan, cuti baptis, cuti kematian, hingga cuti melahirkan dihapuskan dan tidak ada kompensasinya. "Saya tegasnya ini juga tidak benar, hak cuti tetap ada dan dijamin," ujar Jokowi.

Benarkah hak cuti  hilang dan tidak ada kompensasi?

UU Cipta Kerja merevisi ayat pada Pasal 79 UU Ketenagakerjaan tahun 2003 yang mewajibkan perusahaan memberikan istirahat panjang bagi pekerja selama dua bulan kepada buruh yang sudah bekerja selama enam tahun.

Pasal 79 ayat 5 pada UU Cipta Kerja hanya menjelaskan bahwa 'selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

"Cuti panjang bukan lagi kewajiban yang harus diberikan pengusaha, sehingga berpotensi hilang," ujar Said.

Selain perkara cuti panjang, UU Cipta Kerja juga tidak mencantumkan hak cuti haid bagi pekerja perempuan. Beleid baru ini tidak mengatur hak cuti haid di hari pertama dan kedua.

Padahal dalam Pasal 81 UU Ketenagakerjaan tahun 2003, jelas diatur bahwa pekerja perempuan bisa memperoleh libur pada saat haid pertama dan kedua, saat haid. Kendati begitu, Menteri Ketenagkerjaan Ida Fauziyah telah mengklarifikasi bahwa hak pekerja perempuan terkait cuti haid dan cuti melahirkan tidak hilang.

Ia mengakui hal tersebut memang tidak diatur dalam UU Ciptaker, namun tak lantas membuat hak-hak pekerja perempuan terhadap cuti haid dan melahirkan hilang. Karena tidak diatur itulah, menurut Ida, maka ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan yang lama masih berlaku.  

"Buruh juga meminta agar cuti haid dan melahirkan tidak dipotong upahnya. Sebab kalau upahnya dipotong, maka buruh akan cenderung untuk tidak menghambil cuti. Karena meskipun cuti haid dan melahirkan tetap ada di undang-undang, tetapi dalam pelaksanaan di lapangan tidak akan bisa berjalan jika upahnya dipotong," kata Said.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement