REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Berdasarkan laporan yang dirilis dari Bank Dunia pada Rabu (7/10), kemiskinan ekstrem global diperkirakan akan meningkat pada tahun 2020 untuk pertama kalinya dalam lebih dari 20 tahun. Hal ini dikarenakan gangguan pandemi Covid-19 yang menambah kekuatan konflik dan perubahan iklim.
Kemiskinan ekstrem kemungkinan akan mempengaruhi antara 9,1 persen dan 9,4 persen dari populasi dunia pada tahun 2020. Padahal pengurangan kemiskinan melambat sebelum krisis Covid-19, ketika para ahli memperkirakan angka tersebut turun menjadi 7,9 persen pada tahun 2020.
“Pandemi dan resesi global dapat menyebabkan lebih dari 1,4 persen populasi dunia jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem,” kata Presiden Grup Bank Dunia, David Malpass yang meluncurkan Laporan Kemiskinan dan Kesejahteraan Bersama dua tahunan dilansir di Salaam Gateway, Kamis (8/10).
Lembaga keuangan multilateral memproyeksikan pada tahun 2020, antara 88 juta hingga 115 juta orang dapat jatuh kembali ke dalam kemiskinan ekstrem akibat pandemi. Dengan tambahan peningkatan antara 23 juta hingga 35 juta pada tahun 2021, yang berpotensi membawa jumlah total orang baru yang hidup dengan kurang dari 1,90 dolar AS per hari menjadi antara 110 juta dan 150 juta. Angka tersebut bergantung pada parahnya kontraksi ekonomi.
Covid-19, perubahan iklim, dan konflik bersenjata mendorong kemiskinan. Termasuk di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara, di mana tingkat kemiskinan ekstrem hampir dua kali lipat antara tahun 2015 dan 2018. Yang tadinya 3,8 persen menjadi 7,2 persen. Ini dipicu oleh konflik di Suriah dan Yaman.
Sementara Asia Timur dan Pasifik, Asia Selatan, dan Afrika Sub-Sahara memiliki kemiskinan perempuan yang tinggi dan kesenjangan terluas ada di antara anak-anak. Anak perempuan lebih terwakili di antara orang miskin dibandingkan anak laki-laki. Sama halnya perempuan di tahun-tahun reproduktif mereka di seluruh dunia.
Bank Dunia memperkirakan sekitar 82 persen negara berpenghasilan menengah akan melihat sejumlah besar orang jatuh di bawah batas kemiskinan ekstrem. Sebagian besar dari mereka adalah di perkotaan. Di Uzbekistan, 46 persen responden survei perkotaan melaporkan kehilangan pekerjaan dibandingkan dengan 37 persen di rumah tangga pedesaan.
Hal ini juga menunjukkan kaum miskin baru kemungkinan besar dipekerjakan secara tidak proporsional di luar pertanian. Misal, di bidang jasa di Indonesia dan Nigeria. Sementara 42 persen responden Nigeria yang bekerja sebelum wabah melaporkan menjadi pengangguran di bulan Mei dan hampir 80 persen melaporkan penurunan pendapatan sejak pertengahan Maret.