REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengatakan, peran petani dalam rantai pasok komoditas pertanian sangat penting. Selain berperan sebagai pemasok utama komoditas tersebut, petani juga terlibat sebagai pihak yang menjual atau memasarkan komoditas yang dihasilkannya.
Realita yang terjadi lapangan justru seringkali tidak menguntungkan petani. Rantai pasok beras yang panjang seringkali dikaitkan dengan posisi petani yang tidak menguntungkan karena mereka tidak memiliki kuasa untuk harga gabah kering panen (GKP) dan gabah kering giling (GKG).
Petani tidak memiliki posisi tawar yang menguntungkan saat bertransaksi karena harga komoditas yang mereka hasilkan sangat bergantung pada pasar. Alhasil, petani hanya bertindak sebagai price taker dan bukan price maker. Selain itu, harga pembelian pemerintah (HPP) yang ditawarkan Bulog sebagai perwakilan pemerintah tidak jarang lebih rendah daripada harga pasar. Petani akhirnya tidak memiliki pilihan untuk mendapatkan keuntungan.
“Posisi petani di dalam rantai pasok tidak menguntungkan padahal petani adalah penghasil komoditas. Dengan panjangnya rantai pasok distribusi beras hingga ke konsumen, sudah sepatutnya petani mendapatkan posisi yang lebih baik dan mendapatkan keuntungan dari harga jual beras di tingkat konsumen,” kata Galuh dalam Siaran Pers CIPS, Kamis (24/9).
Alih-alih menjual kepada Bulog, banyak petani yang pada akhirnya lebih memilih menjual hasil panennya kepada tengkulak karena mereka menawarkan harga yang lebih tinggi daripada Bulog. Ia mengatakan, tengkulak juga yang seringkali membantu memberikan modal dan akses pasar pada petani. Selain harga, hal lain yang membuat petani berhubungan erat dengan tengkulak adalah akses transportasi, bongkar muat serta harga kemasan dalam karung.
Ia menuturkan, beras lokal dari petani melalui empat hingga enam pelaku distribusi sebelum sampai di tangan konsumen. Awalnya, petani akan menjual padi yang sudah dipanen kepada tengkulak atau pemotong padi yang akan mengeringkan padi dan menjualnya ke pemilik penggilingan. Setelah padi digiling menjadi beras, pemilik penggilingan akan menjualnya kepada pedagang grosir skala besar yang memiliki gudang.
Setelah itu, pedagang grosir skala besar tadi menjual beras tersebut ke pedagang grosir skala kecil di pasar tingkat provinsi atau ke pedagang grosir antar pulau. Pedagang grosir inilah yang kemudian menjual beras tersebut ke pedagang eceran.
"Dalam rantai distribusi beras lokal, margin laba terbesar justru dinikmati para tengkulak, pemiliki penggilngan padi atau pedagang grosir," ujarnya.
Galuh menegaskan, walaupun demikian, rantai distribusi yang panjang ternyata bukan satu-satunya penyebab harga pangan di Indonesia terbilang mahal. Jika dilihat dari ongkos produksi, penelitian yang dilakukan oleh International Rice Research Institute (IRRI) pada tahun 2016 menemukan bahwa ongkos produksi beras di Indonesia 2,5 kali lebih mahal dari Vietnam dan 2 kali lebih mahal dari Thailand.
Studi tersebut juga menunjukkan rata-rata biaya produksi satu kilogram beras di Indonesia adalah Rp 4.079, hampir 2,5 kali lipat biaya produksi di Vietnam sebesar Rp 1.679, hampir 2 kali lipat biaya produksi di Thailand Rp 2.291 dan India Rp 2.306. Biaya produksi beras di Indonesia juga lebih mahal 1,5 kali dibandingkan dengan biaya produksidi Filipina Rp 3.224 dan China Rp 3.661.
Studi IRRI juga menunjukkan komponen dari ongkos produksi yang besar ini adalah sewa tanah Rp 1.719 dan biaya tenaga kerja Rp 1.115 untuk memproduksi satu kilogram beras tanpa sekam.
Produktivitas tenaga kerja yang rendah di Indonesia telah berkontribusi pada rendahnya daya saing sistem usaha tani padi dan telah berkontribusi pada kemiskinan insiden di daerah pedesaan.
Hal ini dapat tergambar lewat upah yang diterima. Tenaga kerja pertanian di Indonesia hanya menerima Rp 86.593 per hari, lebih rendah kalau dibandingkan dengan tenaga kerja pertanian di Filipina yang menerima Rp 86.752, di Vietnam Rp 121.308, di Thailand Rp 181.891 dan di China Rp 208.159. Jumlah yang diterima tenaga kerja pertanian di Indonesia masih jauh lebih baik daripada rekan seprofesi mereka di India yang menerima sebesar Rp 42.492 per hari.
"Petani di Indonesia juga menemui beberapa kesulitan mulai dari bibit, pupuk, akses ke modal, lahan kecil yang berimbas pada proses bercocok tanam yang tidak efisien dan juga kapasitas petani yang juga sebagian besar masih belum produktif,” tambahnya.
Galuh menuturkan, pandemi Covid-19 menyebabkan hasil panen belum terserap secara maksimal di pasaran. Tidak terserap dengan baiknya komoditas pangan hasil panen ini juga dapat disebabkan karena berkurangnya pendapatan masyarakat ataupun karena adanya pembatasan sosial berskala besar yang ditetapkan oleh pemerintah.
Sebagaimana yang sudah diketahui, pandemi Covid-19 menyebabkan beberapa sektor tidak dapat beroperasi secara maksimal sehingga menyebabkan berkurangnya pendapatan dan menyusutnya tenaga kerja. Hal ini secara langsung akan melemahkan daya beli dan konsumsi masyarakat.