REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengusulkan penerapan skema biaya operasi yang dikembalikan (cost recovery) untuk mempercepat pemanfaatan panas bumi di Indonesia. Indonesia menargetkan bauran energi baru terbarukan (EBT), termasuk panas bumi, sebesar 23 persen pada 2025.
"Dengan skema cost recovery, apabila ditemukan panas bumi, maka sunk cost-nya dikembalikan. Itu akan meng-attract investasi geothermal di Indonesia," kata Ketua Komite Tetap Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan Kadin Indonesia Satya Widya Yudha dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (22/9).
Hal tersebut disampaikan Satya sebagai masukan saat rapat dengar pendapat Kadin Indonesia dengan Komisi VII DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (RUU EBTKE) di Jakarta, Senin (21/9/2020).
Satya mengatakan risiko pengeboran panas bumi serupa dengan minyak dan gas (migas). "Risiko drilling panas bumi itu tinggi, sama seperti migas. Kalau semua risiko ditanggung investor, maka akan berat," katanya.
Menurut dia, pengembangan EBT juga memerlukan insentif nonfiskal berupa jaminan penyediaan lahan oleh pemerintah, sehingga biaya bisa ditekan cukup besar. Satya juga mendorong agar dalam RUU EBT memasukkan klausul pembentukan badan khusus yang menangani EBT.
"Badan khusus ini bukan menambah birokrasi, tapi bagaimana bisa mengeksekusi proyek, sehingga merangsang investor. Bahkan, kalau bisa badan itu one door service seperti SKK Migas. Ini akan bisa menjadi solusi pengembangan EBT," ujar Wakil Ketua Komisi VII DPR periode 2014-2019 itu.
Satya juga menyampaikan kunci utama pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) adalah soal harga yang tidak kompetitif. "Tidak masuknya investasi EBT secara masif karena harga yang dipatok di bawah delapan sen dolar AS per kWh. Jadi, kalau ada investor dengan tawaran enam sen dolar, maka tidak akan masuk," katanya.
Dalam rapat tersebut, Satya juga menyoroti soal skema Build, Operate, Own, and Transfer (BOOT) sesuai Permen ESDM No 50 Tahun 2017.
Beleid itu menyebutkan aset pembangkit yang dibangun swasta akan menjadi milik PT PLN (Persero) setelah kontrak berakhir. "Tapi, masalahnya, perbankan tidak bisa memberikan jaminan kepada swasta yang membangun pembangkit itu. Jadi, investor sulit membangun memakai skema BOOT," katanya.
Permasalahan lainnya, perbankan tidak bisa mengalihkan kontrak kepada pengembang swasta (independent power producer/IPP) yang lebih mampu. "Kalau ada IPP yang default atau kolaps karena sesuatu hal, maka perbankan tidak bisa mengalihkan kontraknya ke IPP yang lebih mampu," katanya.
Soal lain, ada klausul dalam perjanjian jual beli listrik (Power Purcashe Agreement/PPA) yang menyebutkan, saham perusahaan yang masih dalam tahap konstruksi pembangkit, tidak dapat dijaminkan. "Ini sesuatu yang tidak lazim, kalau mau berkompetisi dengan energi fosil," ujarnya.
Terakhir, tambah Satya, IPP tidak bisa mengajukan perusahaannya untuk dijaminkan. "Kami berpandangan kalau tidak ada terobosan-terobosan seperti yang kami sampaikan, maka EBT akan berat untuk berkembang karena kalah dengan fosil. Maka, melalui regulasi RUU ini, kami harapkan melalui Komisi VII DPR bisa mendorong ada insentif-insentif seperti yang kami sampaikan," ujarnya.
Pada kesempatan itu Wakil Ketua Umum Bidang EBT Kadin Indonesia Halim Kalla mengatakan pihaknya mengapresiasi Komisi VII DPR yang konsisten mendukung pengembangan EBT. Ia terus mengharapkan peran aktif Komisi VII DPR melakukan pengawasan dan mendorong pemerintah mengimplementasikan kebijakannya agar target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025 bisa tercapai.
"Kami juga mendorong OJK mempercepat implementasi sustainable finance roadmap agar perbankan nasional dapat menyediakan pembiayaan untuk EBT," katanya.
Kadin juga mengusulkan RUU EBTKE fokus kepada energi terbarukan mengingat energi lain sudah diatur dalam UU tersendiri seperti UU Ketenaganukliran, UU Ketenagalistrikan, UU Migas, dan UU Minerba.