Rabu 16 Sep 2020 16:12 WIB

Importir Dukung Perubahan Program Wajib Tanam Bawang

Biaya program wajib tanam bawang dinilai cukup besar dan sulit dilakukan importir.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Perkumpulan Pengusaha Bawang Nusantara (PPBN) mendukung rencana pemerintah untuk mengganti program wajib tanam bawang putih dengan skema pos tarif. Ketua PPBN, Mulyadi, mengatakan, skema pos tarif dirasa lebih adil karena importir tidak punya kapasitas dalam melakukan budidaya bawang putih.
Foto: Flickr
Perkumpulan Pengusaha Bawang Nusantara (PPBN) mendukung rencana pemerintah untuk mengganti program wajib tanam bawang putih dengan skema pos tarif. Ketua PPBN, Mulyadi, mengatakan, skema pos tarif dirasa lebih adil karena importir tidak punya kapasitas dalam melakukan budidaya bawang putih.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan Pengusaha Bawang Nusantara (PPBN) mendukung rencana pemerintah untuk mengganti program wajib tanam bawang putih dengan skema pos tarif. Ketua PPBN, Mulyadi, mengatakan, skema pos tarif dirasa lebih adil karena importir tidak punya kapasitas dalam melakukan budidaya bawang putih.

"Kami mendukung itu karena itu keinginan kami sejak awal. Dari pada wajib tanam, lebih baik dibebankan pos tarif ke importir," kata Mulyadi saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (16/9).

Baca Juga

Menurut dia, biaya untuk melakukan pertanaman bawang putih cukup besar dan sulit dilakukan. Sebab, dibutuhkan lahan dengan spesifikasi khusus agar bawang putih bisa dibudidayakan.

Hal itu tentunya akan berdampak pada kenaikan harga bawang putih impor yang akan dijual oleh importir karena telah mengeluarkan biaya besar untuk kewajiban dari pemerintah. "Di tengah pandemi ini kami mendukung kebijakan yang progresif yang tentunya tidak memberatkan," katanya.

Hanya saja, kata Mulyadi, jika ingin menerapkan pos tarif, perlu dihitung cermat berapa tarif yang akan dibebankan. Sebab, hal itu pun tentu akan mempengaruhi harga jual bawang putih impor di Indonesia.

Menurut data Kementan, pada tahun 2018 dan 2019 masih terdapat perusahaan yang belum melakukan wajib tanam meski telah mendapatkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dari Kementan. Mulyadi mengatakan, salah satu alasan belum melakukan wajib tanam karena faktor geografis yang tidak mampu.

Selain itu, biaya yang tinggi dan menyebabkan importir merugi meskipun telah memperdagangkan bawang putih impor. "Secara otomatis, bagaimana importir mau, biaya kerja sama dengan petani, sarana produksi itu cukup besar. Dan setelah hasilnya dipanen, juga tidak maksimal," katanya.

Direktur Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian, Prihasto Setyanto, mengatakan, pemerintah tengah mengkaji sistem baru untuk menggantikan program wajib tanam yang selama ini dibebankan kepada importir bawang putih. Salah satu alternatif penggantinya dengan menerapkan sistem pos tarif.

"Kita sedang proses revisi wajib tanam. Jadi bagaimana misal dikenakan tarif sehingga importir tidak perlu wajib tanam, tapi mereka membayar," kata Prihasto dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi IV DPR, Rabu (16/9).

Ia mengatakan, dana dari pembayaran itu nantinya akan dikumpulkan dan dilelang kepada perusahaan yang sanggup menggunakan uang itu untuk kegiatan pertanaman dalam negeri. Namun, kata Prihasto, sistem tersebut masih dalam tahap konsultasi.

Pasalnya, terdapat kemungkinan kebijakan pos tarif itu dapat melanggar peraturan dari World Trade Organization. "Kami akan perdalam di tim kami dalam penyusunan wajib tanam ini," kata Prihasto.

Prihasto mengatakan, salah satu alasan pihaknya ingin mengganti kewajiban tanam karena selama ini dirasa sulit oleh para importir untuk melakukan wajib tanam. Di mana, para importir diharuskan bermitra dengan petani lokal dan mencari area untuk melaksanakan budidaya bawang putih hingga memberikan produksi.

Menurutnya, dari hasil survei lapangan kebanyakan masalah yang dihadapi importir adalah sulitnya medan area pertanaman. Namun, mengenai progres wajib tanam yang berhasil maupun yang belum berhasil, seluruhnya telah terdata dengan baik. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement