REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Ekonomi India mengalami kontraksi atau minus sebesar 23,9 persen pada kuartal April-Juni, kinerja terburuknya dalam setidaknya 24 tahun. Pemerintah mengumumkan pada hari Senin (31/8), pandemi virus korona telah menghancurkan perekonomian negara yang tumbuh paling cepat di dunia ini.
"Kontraksi tersebut mengikuti pertumbuhan 3,1 persen di kuartal sebelumnya, yang merupakan kinerja terburuk dalam setidaknya delapan tahun," kata Kantor Statistik Nasional, dilansir di AP.
Pandemi telah menyebabkan ekonomi di seluruh dunia berkontraksi dan pertumbuhan India telah melambat bahkan sebelum pandemi melanda. Banyak ekonom percaya bahwa kebijakan demonetisasi mata uang Perdana Menteri Narendra Modi pada tahun 2016 dan peluncuran pajak barang dan jasa yang tergesa-gesa menimbulkan pukulan bagi manufaktur.
Berharap untuk menghindari kerusakan ekonomi yang lebih serius, pemerintah Modi pada bulan Mei mengumumkan paket stimulus 266 miliar dolar AS. Tetapi permintaan konsumen dan manufaktur belum pulih.
Banyak ekonom mengatakan kesulitan yang disebabkan oleh kontraksi bisa jauh lebih buruk di sektor informal yang merupakan tulang punggung ekonomi India. Sektor ini terpukul jauh lebih dalam daripada sektor terorganisir selama lockdown nasional karena virus korona selama sebagian besar kuartal bulan April-Juni.
Ada harapan untuk pemulihan tentatif di kuartal berikutnya karena puluhan ribu pekerja migran yang semula pulang kampung berangsur kembali ke kota karena lebih banyak tempat kerja terbuka. Tapi gambarannya tetap suram bagi banyak pengangguran.
Pusat Pemantauan Ekonomi India mengatakan sekitar 19 juta orang karyawan telah kehilangan pekerjaan mereka sejak lockdown 68 hari dimulai pada akhir Maret. Meskipun banyak pembatasan telah dicabut secara bertahap, tekanan pada ekonomi diperkirakan akan terus berlanjut.
Zona merah hingga saat ini masih diisolasi. Pada bulan Juni, sebuah laporan Dana Moneter Internasional memproyeksikan kontraksi ekonomi sebesar 4,5 persen untuk India tahun 2020. India telah melaporkan lebih dari 3,6 juta kasus virus korona dan lebih dari 64 ribu kematian. Negara Asia Selatan ini memiliki beban kasus terkonfirmasi tertinggi ketiga setelah Amerika Serikat dan Brasil.