REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat enam perusahaan asuransi telah mengantongi izin pemasaran secara digital untuk (Paydi). Penerapan teknologi industri asuransi pun diharapkan bisa memperkuat aspek manajemen risiko.
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) OJK Riswinandi mengatakan pihaknya telah memberikan sejumlah relaksasi terhadap industri asuransi sebagai upaya menahan kinerja merosot lebih dalam. Salah satunya yakni relaksasi berupa penjualan Paydi secara digital.
“Beberapa waktu berjalan, relaksasi itu tampaknya disambut industri asuransi dengan baik. Sampai saat ini kita telah mengeluarkan izin kepada enam perusahaan untuk menjalankan penjualan secara elektronik dan ada empat perusahaan lagi yang saat ini dalam proses persetujuan," ujarnya kepada wartawan, Selasa (25/8).
Menurutnya ketika pandemi Covid-19 usai maka penjualan produk asuransi secara digital bakal memiliki peranan penting dalam pertumbuhan industri asuransi. Meski begitu, setiap penyelenggara mesti memahami dan memperkuat aspek kehati-hatian, termasuk aspek perlindungan hak-hak konsumen.
“Hal tersebut begitu sensitif karena terkait isu reputasi perusahaan asuransi yang belakangan sedang ramai dibicarakan. Semestinya melalui teknologi seharusnya industri asuransi mampu memperkuat manajemen risikonya,” ucapnya.
Riswandi menyebut belakangan ini minat masyarakat untuk bertransaksi secara digital terus meningkat seiring himbauan pemerintah untuk menerapkan social distancing. Hal ini mengingat industri asuransi dinilai mesti cepat merespon dan memanfaatkan pentingnya digitalisasi untuk mempermudah akses pelayanan.
Selain itu, kata dia, industri asuransi mesti kerja lebih keras mengenai manajemen investasinya saat situasi krisis. Hal tersebut karena Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terkoreksi dan masih belum terlalu stabil dalam periode lima sampai enam bulan belakangan.
Berdasarkan data OJK, industri asuransi merupakan industri yang cukup rentan akibat volatilitas pasar modal. Tercatat meningkat secara agregat sekitar 80 persen portofolio investasi industri menggunakan instrumen yang terkait pasar modal seperti saham, reksa dana, obligasi, dan lain-lain,sehingga segala hal yang terjadi di pasar modal akan memberikan pengaruh yang cukup besar pada industri asuransi.
"Oleh karena itu, kami meminta perusahaan asuransi lebih berhati-hati dalam pengelolaan aset dan liability management. Agar dapat terhindar dari kondisi khususnya terkait reputasi, seperti gagal bayar. Ini penting sekali menjadi perhatian mengingat perkembangan di akhir-akhir ini," ungkap Riswinandi.
Namun demikian, sambung Riswinandi, tingkat solvabilitas atau Risk Based Capital (RBC) asuransi sebagai parameter kesehatan sampai dengan kuartal dua 2020 masih relatif baik. Asuransi jiwa tercatat mencapai 688,1 persen, sedangkan asuransi umum tercatat mencapai lebih dari 319 persen.
Meski cenderung menurun, level rasio tersebut masih di atas ketentuan OJK sebesar 120 persen. Selanjutnya, dia memaparkan, aset industri asuransi per Juni 2020 masih tumbuh walaupun secara tahunan (year on year/yoy) masih lebih rendah empat persen dibandingkan periode sama 2019.
Kemudian secara pengumpulan premi asuransi jiwa mengalami penurunan dibanding periode sama 2019. Pada Juni 2020 ada penurunan sebesar 10 persen (yoy) menjadi sebesar Rp 13,07 triliun. Sedangkan asuransi umum penggunaannya relatif lebih sedikit sebesar 2,32 persen (yoy).