REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada masa Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang digalakkan pemerintah belakangan ini, kelompok Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dinilai masih prospektif. Hal itu dikarenakan adanya segmen konsumen yang cukup baik dalam meningkatkan fungsi intermediasinya di tahun ini.
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah mengatakan kondisi perbankan secara keseluruhan masih relatif stabil. Guna menjaga likuiditas perbankan, lanjutnya, LPS kembali menurunkan tingkat bunga penjaminan untuk simpanan rupiah di bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR) masing-masing sebesar 25 basis poin (bps).
Dengan demikian, tingkat bunga penjaminan LPS di bank umum untuk simpanan rupiah adalah 5,25 persen, bank umum untuk simpanan valas 1,5 persen, dan di BPR untuk simpanan rupiah sebesar 7,75 persen.
LPS bersama dengan OJK juga telah memberikan beberapa insentif bagi BPR. Dari sisi LPS misalnya memberi keringanan bagi perbankan dalam membayar premi penjaminan sepanjang semester II tahun ini. Keringanan tersebut berupa penghapusan denda bagi yang terlambat membayar premi. "Hal ini dalam rangka memberi ruang gerak bagi perbankan nasional," ujar Halim dalam seminar virtual bertajuk Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan Era PEN, Rabu (5/8). Halim menambahkan bahwa relaksasi ini mulai berlaku pada Juli 2020 hingga akhir tahun ini.
Sementara itu, OJK juga telah menerapkan relaksasi yang manfaatnya dapat dirasakan oleh BPR di tengah masa sulit akibat pandemi ini. Melalui POJK Nomor 34/POJK.03/2020 tentang Kebijakan Bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Sebagai Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 pada tanggal 2 Juni 2020, OJK meringankan penghitungan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif (PPAP) umum, dan nilai Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) sebagai faktor pengurang modal inti dalam perhitungan Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum.
Dalam kesempatan berbeda, Ketua Umum Perbarindo Joko Suyanto menyampaikan industri BPR-BPRS dalam kondisi yang sehat, terjaga, dan masih tumbuh positif. "Hal ini tercermin dari beberapa indikator kinerja misalnya aset industri BPR per Mei 2020 tumbuh sebesar 6,08 persen dibandingkan posisi yang sama setahun yang lalu dan telah mencapai Rp 145 triliun,"ujar Joko.
Ia juga menambahkan bahwa masyarakat masih sangat percaya terhadap industri ini. Hal ini terlihat dengan tumbuhnya dana masyarakat yang disimpan di BPR. Misalnya dalam bentuk tabungan tumbuh sebesar 6,77 persen dibandingkan tahun lalu. Sedangkan deposito tumbuh sebesar 6,43 persen.
Dari sisi likuiditas, industri BPR mampu menjaga likuiditasnya dengan baik. Dan ini tercermin dari rasio LDR yang mencapai 79,87 persen. Begitupula dari sisi penyaluran kredit dimana dalam masa pandemi masih tetap memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal tersebut bisa dilihat dari naiknya jumlah dana yang disalurkan dalam bentuk kredit yaitu sebesar 5,50 persen dibandingkan posisi setahun sebelumnya atau mencapai Rp110 triliun di Mei 2020.
Joko Suyanto menegaskan dalam masa pandemi ini industri BPR-BPRS akan terus menjadi garda terdepan dalam memberikan layanan keuangan kepada masyarakat dengan tetap memegang teguh protokol kesehatan. "Kami akan selalu hadir di tengah masyarakat dalam kondisi apa pun. Kami ada memang untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi masyarakat dan meningkatkan tingkat kesejahteraannya,"kata Joko.
Di sisi lain, Perbarindo sangat mengapresiasi langkah-langkah yang telah diambil oleh Pemerintah dan regulator dalam menyelamatkan ekonomi Indonesia sebagai dampak adanya Pandemi Covid-19. "Kami menyambut baik kebijakan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, OJK, dan LPS yang telah memberikan insentif bagi industri BPR-BPRS untuk mengoptimalkan ruang relaksasi dalam menjaga kinerjanya. Tentu upaya tersebut merupakan cara yang ampuh bagi kita bersama untuk tetap survive, bangkit dan menang melewati masa pandemi ini," kata Joko.