REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang bulan Juli 2020 mengalami deflasi sebesar 0,10 persen. Terjadinya deflasi dinilai akibat adanya penurunan harga-harga kebutuhan pokok disertai pertumbuhan ekonomi yang mengalami perlambatan secara global.
Kepala BPS, Suhariyanto, mengatakan, dengan terjadinya deflasi 0,10 persen, maka tingkat inflasi tahun kalender (Januari-Juni 2020) sebesar 0,98 persen, adapun inflasi tahunan (Juli 2019-Juli 2020) hanya 1,54 persen.
"Pergerakan inflais di berbagai negara mengalami perlambatan dan mengarah kepada deflasi. Perkembangan perekonomian global masih dipenuhi ketidakpatian," kata Suhariyanto dalam konferensi pers virtual, Senin (3/8).
Ia menjelaskan, dari 90 kota Indeks Harga Konsumen (IHK) yang disurvei, sebanyak 61 kota mengalami deflasi. Deflasi tertinggi terjadi di Manokwari sebesar 1,09 persen. Adapun sisanya sebanyak 29 kota mengalami inflasi dengan inflasi tertinggi terdapat di Timika sebesar 1,45 persen.
Berdasarkan data BPS, terjadinya deflasi pada Juli 2020 berbeda dengan tren pada umumnya. Sebab, pada Juli 2019 justru mengalami inflasi 0,31 persen. Adapun, inflasi tahunan (Juli 2019-Juli 2020) sebesar 3,32 persen, jauh lebih tinggi daripada inflais tahunan kali ini yang hanya 1,54 persen.
Lebih lanjut, ia mengatakanm kelompok pengeluaran yang paling besar menyumbang deflasi yakni makanan, minuman, tembakau sebesar 0,73 persen. Komoditas yang paling besar menyumbang deflasi yakni bawang merah, ayam ras, dan bawang putih.
Selanjutnya, yakni kelompok transportasi yang menyumbang deflasi 0,17 persen. Komoditas utama yang menyumbang deflasi yakni tarif angkutan udara.
Adapun kelompok selanjutnya yang juga menyumbang deflasi yakni perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga. Namun, sumbangan deflasi hanya 0,01 persen.