REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, Indonesia dan negara anggota G20 masih belum bisa menarik pajak penghasilan (PPh) dari perusahaan digital dalam waktu dekat. Hambatan ini diakibatkan sikap Amerika Serikat yang memilih tidak setuju dengan rencana perpajakan digital di skala global.
Sri mengatakan, seharusnya, kesepakatan pajak digital sudah tercapai pada bulan ini. Hanya saja, dalam pertemuan G20 yang dilakukan virtual pada pekan lalu, diketahui bahwa AS tidak menerima rencana kebijakan yang akan diambil.
"Ini sebabkan, perlu dilakukan upaya tambahan lagi agar dua pilar bisa disetujui," ujarnya dalam konferensi pers APBN Kinerja dan Fakta (KiTa) secara virtual, Senin (20/7).
Sejauh ini, ada dua pilar sebagai pendekatan penarikan pajak yang akan digunakan seluruh negara. Pilar ini dicanangkan oleh the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) melalui inclusive framework, termasuk Indonesia yang menjadi salah satu anggotanya. Dua pilar tersebut adalah unified approach dan Global Anti Base Erosion Proposal (GloBE).
Pilar pertama, unified approach, menggunakan skema pembagian hak pemajakan dari korporasi yang beroperasi secara digital dan borderless. "Jadi, bagaimana membagi penerimaan pajak, terutama utk PPh antar negara berdasarkan operasinya di berbagai negara," kata Sri.
Sementara itu, GloBE merupakan ketentuan yang berupaya menanggulangi permasalahan BEPS, namun belum diatur dalam BEPS Action Plan. Jika pilar pertama membagi pajak antar yurisdiksi, pilar kedua ini memberikan hak pemajakan tambahan kepada suatu yurisdiksi atas penghasilan yang dipajaki lebih rendah dari tarif pajak efektif, atau tidak dipajaki sama sekali oleh yurisdiksi lainnya.
Sri menyebutkan, pilar kedua muncul seiring dengan semakin banyak yurisdiksi yang mengalami penurunan penerimaan PPh akibat efek erosi basis pajak ke negara yang bisa memberikan fasilitas pajak cukup banyak.
Sri berharap, dua pilar ini dapat segera disepakati melalui forum G20 meski masih harus melalui banyak pembahasan di antar anggota. Khususnya setelah melihat akselerasi transformasi ke era digital yang dialami banyak negara, tidak terkecuali Indonesia, akibat pandemi Covid-19.
"Oleh karena itu, persetujuan antar anggota G20 atau secara global terhadap international tax regime, terutama terkait digital ekonomi ini jadi sangat penting," ucap mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.
Di tengah upaya mencari kesepakatan PPh pajak digital, pemerintah Indonesia siap memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau pajak produk digital per bulan depan.
Pada awal Juli ini, pemerintah melalui Ditjen Pajak Kemenkeu sudah menunjuk enam perusahaan global sebagai pemungut PPN atas produk digital. Mereka adalah Amazon Web Services Inc, Google Asia Pacific Pte Ltd, Google Ireland Ltd, Google LLC, Netflix International BV, dan Spotify AB.
Keenam perusahaan tersebut ditunjuk sebagai pemungut pajak digital karena memenuhi kriteria, seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020 entang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Menimbang Melalui Sistem Elektronik.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu Hestu Yoga Saksama mengatakan, besaran PPN yang dipungut sebesar 10 persen. Pelaku usaha yang telah ditunjuk sebagai pemungut PPN wajib mulai melakukan pemungutan PPN pada bulan berikutnya setelah keputusan penunjukan diterbitkan, yakni Agustus.