REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menyesalkan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 yang memuat simplifikasi pengenaan cukai industri hasil tembakau (IHT).
Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan menyampaikan, GAPPRI menyoroti semua kebijakan terkait IHT pada RPJMN tidak akan muncul jika melalui proses standar prosedur perumusan kebijakan publik yang mensyaratkan tiga dimensi, yakni transparansi, partisipasi dan dukungan bukti.
Menurut GAPPRI upaya pemerintah melakukan optimalisasi penerimaan melalui kenaikan tarif cukai ke depan sebaiknya mempertimbangkan indikator ekonomi. Misalnya, pertumbuhan ekonomi dan inflasi serta kondisi daya saing.
Dalam catatan GAPPRI, pemerintah setiap tahun membuat kebijakan cukai yang terlalu eksesif. Hal ini berdampak pada tutupnya pabrik, selain juga memicu tumbuhnya produk ilegal di pasar rokok kelas kecil dan menengah.
Oleh karena itu, GAPPRI meminta pemerintah mempertahankan struktur tarif cukai hasil tembakau sebagaimana diatur dalam PMK No. 152/PMK.010/2019.
"Struktur tarif cukai hasil tembakau yang terdiri dari 10 level adalah paling ideal, berkeadilan dan bijak bagi jenis produk serta golongan pabrik I, II dan III (besar, menengah, dan kecil) yang banyaknya 700-an unit pabrik aktif dengan ukuran/skala dan pasar yang bervariasi," kata Henry.
Henry meyakini Jokowi secara bijak akan mempertimbangkan masukan GAPPRI demi kelangsungan usaha IHT. Terlebih, sektor IHT juga saat ini mengalami kesulitan tengah pandemi Covid-19.
IHT juga menjaga penciptaan nilai tambah dan lapangan kerja dalam negeri. "Nafkah bagi petani dan pekerja perkebunan tembakau dan cengkeh serta pemiliknya dan pekerja distribusi sampai pedagang kaki lima serta terjaga berbagai kegiatan di sepanjang rantai pasok IHT," ucap Henry.