Rabu 01 Jul 2020 20:02 WIB

Ekonom: Anomali Inflasi Berpotensi Terjadi Sepanjang Pandemi

Data BPS memperlihatkan makanan menjadi komponen penyebab utama inflasi bulan lalu.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Inflasi
Foto: Republika
Inflasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, anomali pada inflasi mungkin saja terus terjadi sepanjang pandemi Covid-19. Tidak terkecuali pada komponen volatile food atau makanan bergejolak yang berpotensi naik turun, setidaknya sampai pandemi selesai.

Yusuf mengatakan, anomali volatile food tidak terlepas dari kebijakan pengendalian pangan pemerintah yang dinilai masih buruk. "Jadinya, harga bisa saja naik terus," katanya ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (1/7).

Baca Juga

Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan, makanan bergejolak menjadi komponen penyebab utama inflasi pada bulan lalu yang tercatat sebesar 0,18 persen. Inflasi komponen ini mencapai 0,77 persen, meningkat signifikan dibandingkan situasi Mei yang masih pada level deflasi 0,50 persen.

Makanan bergejolak memberikan andil 0,13 persen terhadap inflasi Juni. Salah satu penyebab utama inflasi volatile food adalah kenaikan daging ayam ras yang memberikan andil pada inflasi 0,14 persen. Selain itu, telur ayam ras turut berkontribusi 0,04 persen.

Secara umum, Yusuf menuturkan, pengendalian pangan di Indonesia belum bisa dikatakan sudah baik. Masih banyak hal yang masih dapat ditingkatkan.

Ia mencontohkan, ketika persediaan sedang banyak, namun tidak terserap secara penuh. Akhirnya, para petani pun kebingungan, ketika permintaan melemah, namun supply terlanjur berlebih.

Kondisi ini sudah terlihat sejak beberapa waktu terakhir. Yusuf mengatakan, sudah sempat viral petani sayur yang membagikan hasil panennya secara gratis.

"Ini hanya satu dari sekian anekdotal yang menunjukkan pengendalian bahan pangan yang kurang baik," ujarnya. 

Yusuf menambahkan, belum lagi apabila berbicara mengenai masalah ketersediaan data semua komoditas pangan yang mampu menunjang pengambilan kebijakan. Situasi ini patut menjadi perhatian pemerintah mengingat pendapatan masyarakat saat ini yang belum bisa mengimbangi kenaikan harga tersebut.

Yusuf menyebutkan, ada dua solusi untuk mengatasi permasalahan ini. Untuk jangka pendek, memperbaiki daya beli masyarakat merupakan keharusan. "Selama dari sisi demand melemah, serapan terhadap supply barang juga akan bermasalah," tuturnya.

Sementara, solusi jangka panjangnya adalah memperbaiki tata kelola pangan. Permasalahan klasik seperti penyerapan bahan pangan di dalam negeri harus dipikirkan solusinya secara bersama-sama.

Kepala BPS Suhariyanto juga menyebutkan, pola inflasi beberapa bulan terakhir terbilang berbeda. Pada tahun-tahun lalu, bulan yang terdapat Ramadhan dan Lebaran selalu menjadi puncak inflasi, kemudian diikuti dengan penurunan.

Tapi, pada tahun ini, bulan Ramadhan dan Idul Fitri yang jatuh pada April dan Mei mengalami inflasi yang lumayan flat, yakni masin-masing 0,08 persen dan 0,07 persen. Sedangkan, pada Juni atau satu bulan setelah Lebaran, justru naik sedikit menjadi 0,18 persen. "Ini karena situasi tidak biasa, ada pandemi," tuturnya dalam konferensi pers live streaming, Rabu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement