REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Secara keseluruhan, asumsi dasar ekonomi makro Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) tahun 2021, menggambarkan skenario pemulihan ekonomi model “V”. Artinya, pemerintah menganggap pandemi Covid-19 ini, hanya akan jangka pendek (setahun) dan pemulihan cepat, sehingga tahun depan 2021 sudah mulai pulih.
"Faktanya, justru semakin meningkat kasus positif," kata Anggota Komisi XI Fraksi Gerindra Kamrussamad dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Senin (22/6).
Karena itu, dia menganjurkan, sebaiknya pemerintah tetap perlu memikirkan/mempertimbangkan jika pemulihan ekonomi tidak model “V” seperti yang dibuat lembaga-lembaga internasional tersebut. Ini mengingat, Indonesia memulai kondisi New Normal pada saat kasus positif belum turun atau melandai, sehingga kemungkinan pemulihan ekonomi tidak cepat seperti yang diprediksikan
"Skenario model “W” (atau ada kemungkinan terjadi second wave pandemi Covid-19), maupun model “L” (jika recovery ekonomi tidak pulih secara cepat) tetap perlu dipertimbangkan meskipun kita semua tidak menghendakinya. Ini bermanfaat untuk langkah antisipasi jangka menengah mengingat skenario jaring pengaman sosial kita hanya 3 bulan, 6 bulan, dan setahun," ujar Kamrussamad.
Dikatakan Kamrussamad, variatifnya rentang perbedaan proyeksi antar lembaga internasional, menggambarkan ketidakpastian ekonomi yang tinggi di sisa tahun 2020 dan tahun 2021 mendatang. Oleh karena itu, tegas dia, pemerintah perlu mengantisipasi jika situasi gejolak ekonomi global kembali terjadi, terutama jelang akhir tahun (dinamika politik AS) dan risiko gelombang kedua pandemi.
Menurutnya, dari hampir semua mitra dagang utama Indonesia di negara-negara maju, hanya China yang diperkirakan akan tumbuh positif di triwulan II 2020. Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan agar manfaatnya bisa juga ke permintaan ekspor produk Indonesia?
"Pemerintah harus ada upaya yang dilakukan untuk mendukung ekspor ke China, sehingga saat mereka mulai pulih, permintaan ekspor mereka ke Indonesia juga naik," ujarnya.
Dari beberapa risiko yang membayangi outlook ekonomi 2020 dan proyeksi 2021, kata Kamrussamad, ada dua faktor global tentang geopolitik AS-China merupakan masalah eksternal yang lebih susah diintervensi. Namun, faktor second wave Covid-19 sangat berkaitan dengan kemampuan Pemerintah Indonesia menangani wabah.
"Hingga saat ini belum terlihat dari skenario pemerintah jika gelombang kedua datang. Hal ini yang mengherankan dari tim ekonomi pemerintah yang terkesan percaya diri dengan satu skenario saja," ucapnya.
Terkait stimulus fiskal Indonesia sebesar 4,2 persen dari PDB, Kamrussamad mengatakan, besaran stimulus penting. Namun, kecepatan implementasi juga jauh lebih penting karena akan menentukan tingkat efektifitas stimulus ini.
Menurut dia, rendahnya penyerapan anggaran mempengaruhi daya beli serta berdampak pada sektor riil. Karena itu, perlu keberpihakan terhadap peningkatan daya saing dalam negeri.
"Sudah berapa persen penyerapan stimulus sampai saat ini? Apa upaya yang sudah dilakukan untuk mempercepat stimulus agar sampai ke masyarakat dan dunia usaha, kami nilai hasilnya belum tampak," ucap Karussamad.
Di sisi lain, kata dia, lima lembaga internasional tidak ada yang memproyeksikan ekonomi Indonesia akan tumbuh 1 persen pada 2020 ini, yang tertinggi hanya 0,5 persen. Apa yang mendasari proyeksi pemerintah bahwa ekonomi masih bisa tumbuh positif setidaknya 1 persen di 2020?. "Kami mendesak tim ekonomi pemerintah untuk jujur agar publik bisa percaya terhadap arah kebijakan Sudah tepat," katanya.
"Semestinya pemerintah menyiapkan skenario jika pertumbuhan ekonomi tahun ini sampai minus -3,9 persen, sehingga target pertumbuhan ekonomi 2021 lebih realistis," imbuhnya.