REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Energi Nasional (DEN) mendukung penuh langkah PT Pertamina dalam melanjutkan program megaproyek pembangunan kilang sebagai bagian dari upaya menjaga ketahanan energi. Langkah ini ditempuh demi mengurangi serta menghilangkan ketergantungan atas lonjakan impor Bahan Bakar Minyak (BBM).
"Kebutuhan BBM kita dalam Rencana Energi Umum Nasional (RUEN) sampai tahun 2050 sebesar 3,7 juta barel per day (bpd). Saat ini, kita sebagaian besar di suplai dari kilang dalam negeri. Namun sebagian masih impor sampai tahun 2024 - 2025," kata Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto, Kamis (11/6).
Djoko menjelaskan, pembangunan kilang merupakan salah satu strategi kebijakan energi jangka panjang yang disiapkan oleh pemerintah. Kementerian ESDM pun menetapkan peningkatan kapasitas kilang minyak nasional menjadi lebih dari 2 juta bpd pada tahun 2025 melalui Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Grass Roof Refinery (GRR).
"Seandainya kita punya storage yang lebih besar di masa pandemi seperti ini, kita bisa menampung banyak minyak dalam negeri," ungkap Djoko.
Guna memudahkan dalam mengeksekusi program tersebut, Pemerintah telah membekali payung hukum kepada Pertamina. Selain ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 146 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri, Kementerian ESDM juga menerbitkan 4 Keputusan Menteri ESDM tentang penugasan kepada Pertamina dalam pembangunan kilang di Bontang (Kalimantan Timur), Cilacap (Jawa Tengah), Tuban (Jawa Timur) dan Balikpapan (Kalimantan Timur).
"Dengan begitu Pertamina bisa menjalankannya, mencari dananya. Bisa bekerja sama dengan pihak lain, baik dalam maupun luar negeri ataupun dengan pembiayaan sendiri," jelas Djoko.
Djoko menguraikan indikator ketahanan energi sangat ditentukan oleh kemampuan produksi kilang BBM dan LPG dalam memenuhi 100 persen kebutuhan domestik. Apalagi, periode penyimpanan BBM dan LPG bisa hingga 30 hari konsumsi.
"Dengan percepatan pembangunan kilang, maka persentase produksi kilang BBM dan LPG untuk domestik akan meningkat. Sehingga nilai indikator penyediaan BBM dan LPG ikut meningkat. Tentu, ini mempengaruhi peningkatan ketahanan energi," tegas Djoko.
Sebagai pelaksana proyek megaproyek pembangunan kilang, keputusan untuk melanjutkan pembangunan kilang di tengah masa pandemi Covid-19 dinilai penting bagi PT Pertamina. Pertimbangan ini diambil mengingat Pertamina akan mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan dalam negeri jika dihadapkan pada kondisi kilang saat ini.
"Kilang Pertamina sendiri umurnya memang sudah tidak muda lagi. Terakhir yang kita bangun adalah Kilang Balongan. Karena rata-rata kilang berumur, competitiveness merupakan tantangan tersendiri kepada Pertamina," kata Amir H.Siagian selaku SVP Project Execution Direktorat Megaproyek Pengolahan & Petrokimia PT Pertamina.
Amir menjelaskan, kilang Pertamina dirancang hanya untuk mengolah minyak mentah (crude) jenis Sweet atau memiliki kandungan sulfur yang relatif rendah. Sementara sebagian besar crude baik impor maupun domestik akan menjadi Sour. "Ini yang membuat margin akan terus menurun. Makanya, kilang yang akan kita bangun basisnya minyak berat, contoh di Tuban," jelasnya.
Tak hanya itu, kilang yang dikelola oleh Pertamina sebagian besar dengan teknologi lama sehingga memiliki daya saing rendah. "Kompleksitas kilang kita itu rata-rata di bawah 9, tentunya dengan angka segitu operating costnya masih tinggi," tutur Amir.
Amir berharap melalui kelanjutan megaproyek ini dapat kebutuhan energi dalam negeri dengan mempertimbangkan kualitas produk, standar ramah lingkungan dan mencatat kinerja keuangan perusahaan yang positif, terlebih setelah mendapat dukungan penuh dari Pemerintah. "Peraturan yang diterbitkan oleh Pemerintah sangat membantu kami misalnya dalam hal perizinan," tutup Amir.