REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti menyatakan konsumen Indonesia belum sepenuhnya memerhatikan keamanan pangan ketika memesan melalui aplikasi digital. Aplikasi digital memang mempermudah konsumen mendapatkan makanan.
Dalam memperingati Hari Keamanan Pangan Dunia yang jatuh pada 7 Juni 2020, CIPS menilai konsumen di Indonesia masih berisiko mengonsumsi pangan yang tidak aman melalui berbagai platform digital yang mempermudah dalam memesan makanan. "Kontribusi ekonomi dari kehadiran berbagai platform digital tentu tidak bisa diabaikan," kata Ira di Jakarta, Ahad (7/6).
"Untuk terus mendukung kontribusi tersebut, keamanan pangan yang merupakan hak dari konsumen juga perlu dipastikan. Hal ini yang belum ada di Indonesia," kata dia.
Ira menjelaskan kehadiran platform digital ini juga menambah kompleksitas perlindungan konsumen. Layanan pesan antarmakanan telah menyumbang perekonomian, bahkan pada masa PSBB.
Riset oleh Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) juga menunjukkan layanan pesan antarmakanan milik Gojek, yaitu GoFood, telah memberikan akses pada pedagang UMKM untuk berkontribusi sebesar Rp18 triliun pada perekonomian di Indonesia. Adanya aplikasi digital untuk memesan pangan mempermudah konsumen untuk mendapatkan makanan dari berbagai sumber, seperti dari restoran, penjual makanan rumahan, food court, dan penjual kaki lima.
Selain itu, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akibat Covid-19 juga menjadi salah satu faktor yang berkontribusi pada lonjakan pemesanan makanan lewat platform digital. Grab Indonesia melaporkan terjadinya kenaikan transaksi sebesar 4 persen pada single order dan 7 persen pada keranjang ukuran pesanandi antara Oktober 2019 sampai Maret 2020.
Bahkan, laporan McKinsey menunjukkan 34 persen konsumen pada survei mereka lebih sering menggunakan layanan antarmakanan selama krisis.
Namun, ia menambahkan, pemesanan makanan melalui aplikasi digital juga mempunyai tantangannya sendiri karena konsumen tidak dapat mengobservasi keamanan secara langsung. Pada akhirnya, konsumen harus menyerahkan kewajiban tersebut pada penjual, pengantar dan operator.
"Jika cara antar pangan adalah sama dengan cara antar barang lainnya, itu akan menimbulkan risiko penyakit bawaan makanan atau 'foodborne illnesses'. Penyakit ini biasanya diakibatkan cemaran oleh bakteri, virus, parasit, dan hasil reaksi kimia yang diakibatkan penanganan yang kurang sesuai," kata Ira.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari BPOM melaporkan adanya 4.553 pangan ilegal senilai Rp7,21 miliar yang akan dijual di e-commerce pada Desember 2019. Laporan BPOM juga mencatat hampir 50 persen dari pengujian sampel makanan tanpa izin adalah tidak aman untuk dikonsumsi pada 2018.
Beberapa alasannya adalah terkait penggunaan zat berbahaya pada makanan seperti formalin, boraks, Rhodamin B, and Methanyl Yellow. Penemuan bakteri akibat lemahnya praktik higienis dan ketidaksesuaian sanitasi juga masih sering terjadi.
Ira pun memberikan tiga rekomendasi. Pertama, operator menyediakan kontainer khusus untuk pengantaran makanan. Kontainer tersebut sudah biasa digunakan di negara lain untuk menjaga suhu dan menghindari kontaminasi bakteri.
Kedua, Ira berpendapat agar pemerintah lebih gencar menyosialisasikan pengetahuan keamanan pangan pada konsumen dan produsen makanan. Sosialisasi harus dilaksanakan terkait makanan yang dibeli secara online karena tambahan liabilitas dibandingkan membeli secara offline.
"Informasi ini harus mudah didapatkan dan sederhana. Akses informasi juga mencegah produsen berbuat salah dalam mengolah dan mengemas makanan akibat kurangnya pengetahuan. Ini ditengarai karena prosentase jumlah produsen makanan informal di Indonesia cukup tinggi," kata dia.
Ketiga, Ira berpendapat agar konsumen lebih aktif untuk mencari informasi untuk mengidentifikasi keamanan pangan. Contohnya terkait identifikasi pangan aman, cara penyimpanan makanan dan menyimpan informasi atas makanan yang dikonsumsi setiap hari, jika terjadi hal yang tidak diinginkan.