REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki menyatakan, kondisi sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sekarang berbeda dengan saat krisis moneter 1998. Sebab, UMKM kini sangat terdampak pandemi Covid-19.
Pada 1998, kata dia, UMKM menjadi penyelamat ekonomi nasional ketika banyak perusahaan besar kolaps. Bahkan, nilai ekspor UMKM saat itu mampu meningkat hingga 350 persen.
Sekarang, lanjutnya, pelaku UMKM terkena dampak, baik dari sisi permintaan maupun pasokan. Data dari Call Center Kementerian Koperasi (Kemenkop) UKM menyebutkan, UMKM paling terpukul dari sisi permintaan dan pemasaran. “Dari sisi pasokan juga menyangkut SDM (Sumber Daya Manusia) yang turun, juga harga bahan baku meningkat," ujar Teten melalui siaran pers yang diterima Republika pada Selasa, (2/6).
Maka ia melanjutkan, pemerintah sudah merumuskan lima langkah demi menjawab berbagai masalah tersebut. Meliputi program Bansos untuk usaha ultra mikro, insentif pajak, stimulus pembiayaan, pinjaman baru yang dipermudah, serta BUMN sebagai penyangga bagi produk-produk sektor pertanian dan perikanan.
Teten menegaskan, lima skema tersebut berlaku hingga September 2020. Jika lewat dari itu, maka beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan sangat berat.
“Saat ini pun kita sudah defisit. Jadi pemerintah menerbitkan Perppu untuk mencari pinjaman baru, menerbitkan surat utang. Itu bukan hal yang mudah”, ujarnya.
Meski begitu, kata dia, UMKM memiliki peluang di market online. Menurutnya, selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan, perilaku konsumen berubah.
Penjualan di e-commerce pun meningkat hingga 18 persen sejak Maret 2020. “Ini luar biasa. Kebijakan ‘di rumah saja’ mendorong penjualan kebutuhan primer, di mana kebutuhan masyarakat akan makan dan minum selama PSBB paling banyak dari UMKM naik 52,6 persen, keperluan sekolah naik 34 persen, kebutuhan personal seperti masker dan hand sanitizer, juga tumbuh 29 persen," tutur dia.