REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira berpendapat, wacana pembukaan mal atau pusat perbelanjaan mulai bulan depan terlalu terburu-buru. Sebab, korban positif Covid-19 di Indonesia, masih terbilang tinggi. Khususnya Jakarta dan daerah penyangga sekitar kini masih menjadi episentrum penyebaran virus.
Seharusnya, Bhima menekankan, pemerintah lebih mendengar pendapat ahli kesehatan yakni melakukan pelonggaran ketika kurva penyebaran virus sudah mulai landai atau menurun. Hal ini telah dilakukan oleh pemerintah Taiwan dan Vietnam yang memiliki indikator jelas. "Ini aneh memang pemerintah (Indonesia)," ujarnya ketika dihubungi Republika, Selasa (26/5).
Apabila pemerintah terburu-buru melakukan pelonggaran tanpa mempertimbangkan aspek kesehatan, Bhima khawatir gelombang kedua Covid-19 akan semakin menurunkan minat orang berbelanja. Kepercayaan konsumen berpotensi menurun karena khawatir terhadap keselamatan diri mereka, terutama kelas menengah dan atas.
Efek berikutnya, biaya kesehatan menjadi semakin bengkak, industri menjadi tidak optimal dan pemulihan ekonomi justru berjalan lebih lambat. Target pemerintah untuk memasuki masa pemulihan pada tahun depan diyakini sulit tercapai. "Recovery-nya malah bisa terjadi pada 2022. Semua jadi berubah total proyeksinya," ujar Bhima.
Ekonom Indef M Rizal Taufikurahman juga menyebutkan, rencana pembukaan kembali mal hanya akan mendorong konsumsi secara terbatas. Lebih tepatnya, konsumsi dari kelompok rumah tangga dengan pendapatan menengah ke atas.
Tapi, Rizal menjelaskan, hal itu tidak berlaku untuk semua masyarakat dalam kelompok tersebut. "Hanya rumah tangga yang masih mempunyai budget dan tabungan untuk konsumsi selain kebutuhan pangan," tuturnya.
Sementara itu, sisa kelompok masyarakat akan mengalami penurunan daya beli secara drastis. Artinya, Rizal menjelaskan, dampak pembukaan mal tidak akan secara efektif dan signifikan dalam mendongkrak tingkat konsumsi rumah tangga secara keseluruhan, melainkan sangat terbatas.
Rizal menilai, antusiasme belanja rumah tangga saat ini masih mempertimbangkan bahaya pandemi Covid-19. Dengan kurva yang masih meningkat, kondisi menuju new normal pun mengakibatkan daya beli masyarakat tetap akan jauh dari harapan.
Di sisi lain, Rizal menambahkan, akar permasalahan konsumsi rumah tangga bukan hanya dari sisi konsumsi, tapi juga produksi. Sisi ini yang mendorong rumah tangga memiliki pendapatan, sehingga mampu memperbaiki daya beli mereka.
Apabila pemerintah tidak memperbaiki sisi produksi, maka daya beli hanya akan bersifat eksklusif pada rumah tangga yang memiliki tabungan. "Itupun jumlahnya kian menurun," ujar Rizal.
Secara umum, Rizal menilai, rencana pembukaan mal merupakan kebijakan yang bersifat mundur kena maju kena. Di satu sisi, kurva infeksi virus Covid-19 di Indonesia masih fluktuatif, sehingga membutuhkan pembatasan aktivitas. Tapi, di sisi lain, aktivitas ekonomi harus dilakukan seiring kebutuhan masyarakat terhadap pendapatan.
Oleh karena itu, Rizal menekankan, pemerintah harus berhati-hati dalam melakukan pelonggaran pembukaan mal. Apabila dilakukan tanpa memperhatikan protokol kesehatan, justru dapat merugikan kondisi ekonomi dan indikator perekonomian yang tidak kunjng membaik. "Alih-alih penyebaran wabah turun, malah meningkat," tuturnya.