Jumat 15 May 2020 16:21 WIB

Antisipasi Puncak Kemarau, Kementan Gerak Cepat

Gerak cepat untuk meminimalisir kehilangan hasil akibat musim kemarau

Kementan gerak cepat antisipasi datangnya musim kemarau.
Foto: Kementan,
Kementan gerak cepat antisipasi datangnya musim kemarau.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasar hasil Forum Diskusi Iklim (FDI) dengan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) April lalu, puncak musim kemarau diprediksi terjadi pada Agustus mendatang. Untuk itu Kementerian Pertanian, c.q. Direktorat Jenderal Hortikultura terus sigap dan tanggap cepat dalam mendukung pengamanan produksi cabai maupun bawang merah.

Hal tersebut sesuai arahan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo bahwa barang kebutuhan pokok (Bapokting) diantaranya cabai dan bawang merah harus tetap terjaga ketersediaannya setiap saat dalam pemenuhan kebutuhan pangan 267 juta jiwa rakyat Indonesia.

Baca Juga

Tujuannya tak lain untuk meminimalisir kehilangan hasil akibat musim kemarau yang akan terjadi di beberapa kawasan, terutama untuk kawasan seperti Jambi bagian barat, Bangka Belitung, Pulau Jawa, Bali, sebagian NTB, NTT, Kalteng bagian selatan, Kalsel bagian utara, Kaltim bagian selatan, Sulbar, sebagian Sulsel, Sultra bagian selatan, Sulut bagian utara, Malut, Papua Barat Bagian Timur, Jayapura.

“Kami Direktorat Perlindungan Hortikultura telah berkoordinasi dengan Dinas Pertanian dalam rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iiklim (DPI) terhadap komoditas hortikultura di seluruh Indonesia,” ujar Direktur Perlindungan Hortikultura Kementan, Sri Wijayanti Yusuf ketika dihubungi, Jumat (15/5).

Sri menjelaskan, kekeringan merupakan situasi yang hampir sama setiap tahun terjadi, terutama di daerah rawan. Bencana kekeringan cenderung terus meningkat, baik frekuensi, intensitas dan distribusi kejadiannya. Kejadian kekeringan tersebut sangat nyata berpengaruh terhadap sub-sektor hortikultura, termasuk pada komoditas cabai.

Langkah konkret yang dilakukan untuk penanganan ini adalah tim bergerak secara cepat turun ke lapangan untuk memastikan bantuan dan komponen apa saja yang dibutuhkan untuk mengamankan pertanaman di kawasan sentra utama,” ungkapnya.

“Di antaranya penggunaan varietas yang sesuai untuk musim kemarau, bantuan pompa air yang juga difalitasi dengan APBN, serta penggunaan bahan pengendali OPT ramah lingkungan,” tambah Sri.

Sementara, Kepala Balai Proteksi Tanaman Pertanian (BPTP) DI Yogyakarta, Maman Suherman mengatakan bahwa pada 2019 pihaknya mendapatkan bantuan untuk penanganan DPI dari dana APBN di kawasan cabai seluas 95 hektare. Lokasinya tersebar di Kabupaten Sleman 45 ha dan Kab. Kulonprogo 40 hektare.

“Tentunya bantuan ini diharapkan bisa menjadi stimulan dan sekaligus menjadi penyemangat bagi kelompok tani agar tetap semangat dalam menjaga pertanaman di lapangan,” kata dia.

Maman menambahkan bahwa berbagai upaya antisipasi DPI bertujuan untuk memperkecil resiko serangan  OPT dan DPI sehingga produksi hortikultura terjaga.

“Mulai dari kualitas, kuantitas, menguntungkan petani, menjamin kesehatan manusia serta mempertahankan kelestarian lingkungan hidup,” pungkasnya.

Data Early Warning System (EWS) Hortikultura

Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto, menjelaskan bahwa berdasarkan data EWS Ditjen Hortikultura produksi bawang merah nasional bulan Mei sampai dengan Agustus 2020 cukup aman, masih surplus. Bulan Mei, produksi 120.373 ton, kebutuhan 119.080 ton, surplus 1.293 ton. Bulan Juni, produksi 135.060 Ha, kebutuhan 112.688 ton, surplus 22.372 ton. Bulan Juli dan Agustus produksi juga aman.

Selanjutnya Dirjen Hortikultura menyampaikan bahwa untuk menjaga pertanaman di lapangan, dari serangan OPT dan dampak perubahan iklim, dukungan Dinas Pertanian, melalui petugas Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT). Sampai saat ini gangguan tersebut masih terkendali dengan baik, ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement