REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute For Demographic and Poverty Studies (Ideas) melihat pandemi Covid-19 yang melanda, membuka kerentanan struktural APBN yang telah menahun. Seperti terbatasnya kapasitas fiskal, besarnya beban belanja terikat, defisit anggaran yang telah menjadi norma, dan ketergantungan pada pembiayaan utang yang masif.
Berbekal Perppu No. 1/2020 yang kini telah disahkan sebagai UU, pemerintah merombak postur dan alokasi APBN 2020 secara signifikan hanya dengan perpres. Karena itu, defisit anggaran melonjak dari Rp 307 triliun atau 1,76 persen dari PDB menjadi Rp 853 triliun atau 5,07 persen dari PDB, dengan pembiayaan utang menembus Rp 1.000 triliun.
"Kapasitas fiskal yang terus menurun dalam lima tahun terakhir dari 10,9 persen menjadi hanya 9,6 persen dari PDB, diproyeksi semakin jatuh pasca-Covid-19," kata Direktur Ideas, Yusuf Wibisono pada peluncuran hasil riset IDEAS yang bertajuk ‘Wajah APBN Pasca Covid-19’, di Tangerang Selatan, Kamis (14/5).
Ia menambahkan, tax ratio APBN 2020 yang semula ditargetkan 10,7 persen dari PDB dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,3 persen, pascapandemi turun menjadi hanya 8,7 persen dari PDB, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 2,3 persen. Proyeksi ini bisa semakin memburuk seiring asumsi pertumbuhan ekonomi yang bergerak ke arah -0,4 persen.
Dengan politik anggaran yang sangat terbuka terhadap utang, jatuhnya kapasitas fiskal di masa pandemi ini segera ditutup dengan utang untuk menopang belanja tidak terikat (discretionary expenditure). Pada APBN yang penuh dengan belanja terikat (belanja birokrasi dan bunga utang), stimulus fiskal yang signifikan harus dilakukan dengan utang yang sangat masif.
"Stimulus ekonomi melawan dampak Covid-19 melalui Perppu No 1/2020 harus dibayar amat mahal yaitu dengan mencabut aturan disiplin anggaran pemerintah sekaligus monetisasi defisit anggaran oleh bank sentral," kata Yusuf.
Dengan timbunan utang sebelum pandemi, stok utang pemerintah semakin melonjak. Per Maret 2020, stok utang pemerintah tercatat Rp 5.192 triliun atau sekitar 32,1 persen dari PDB, berlipat dua dari posisi Oktober 2014 yang Rp 2.601 triliun. Pada akhir tahun, stok utang pemerintah diperkirakan akan mencapai Rp 5.784 triliun atau 34,4 persen dari PDB.
Kenaikan utang pemerintah pascapandemi semakin mengkhawatirkan. Dalam tiga bulan pertama 2020, stok utang pemerintah rata-rata bertambah Rp 138,2 triliun per bulan, melonjak 4 kali lipat dari rata-rata periode Juli 2013-Desember 2019.
Ideas melihat Ketergantungan APBN pada utang kian menghebat pada masa pandemi. Beban bunga utang melonjak hampir empat kali lipat dalam satu dekade terakhir, dari Rp 88,4 triliun pada 2010, menjadi Rp 335,2 triliun pada 2020. Pada saat yang sama, pembayaran cicilan pokok utang berlipat lebih dari empat kali, dari Rp 127 triliun menjadi Rp 539 triliun.
"Dengan pemerintah semakin dalam terjerat perangkap utang, berutang untuk bayar utang, maka pembuatan utang baru oleh pemerintah terus meningkat drastis dari waktu ke waktu," katanya.
Dengan kehadiran pandemi, diperkirakan pemerintah akan menarik utang baru hingga Rp 1.439,8 triliun. Melihat besarnya porsi belanja tidak terikat perintah, maka belanja untuk stimulus fiskal dan perlindungan sosial yang dibawah kewenangan pemerintah, seringkali harus dibiayai dengan utang, dan dengan jumlah yang tak pasti.
Alokasi belanja modal, subsidi, dan bantuan sosial selalu merupakan residual belaka, bahkan dengan proporsi yang terus menurun. Secara ironis, hal ini justru semakin memuncak di kala pandemi menghampiri.