Sabtu 11 Apr 2020 20:28 WIB

Inovasi Produk Bank Syariah Terganjal GWM

Benarkah inovasi produk bank syariah terganjal Giro Wajib Minimum (GWM)?

Yaser T Syamlan, Dosen IAI Tazkia dan Pemerhati Bank Syariah
Foto: Istimewa
Yaser T Syamlan, Dosen IAI Tazkia dan Pemerhati Bank Syariah

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Yaser T Syamlan, Dosen IAI Tazkia dan Pemerhati Bank Syariah

Tulisan singkat ini melanjutkan tulisan Bapak Dr Ronald Rulindo di Republika.co.id yang berjudul "Bank Syariah yang tidak Pernah Besar". 

Sebelum kita bahas lebih jauh tajuk diatas, mari kita dudukkan terlebih dahulu produk definisi dari SRIA. SRIA kepanjangan dari Sharia Restricted Intermediaries Account atau dalam bahasa Indonesia dapat disebut juga sebagai rekening intermediasi terbatas berbasis syariah. 

Di negara lain, SRIA ini sering disebut Investment Account seperti halnya yang digunakan di Malaysia, Pakistan dan beberapa negara Islam. 

Merujuk Pada AAOIFI FAS 27 tahun 2014 tentang Investment Account, disebutkan bahwa akad dasar dari produk ini adalah Mudharabah Muqayyadah di mana investor yang memiliki dana cukup besar melakukan penempatan langsung ke bisnis tertentu yang dia pilih. Dalam hal ini, risiko produk Investment account berbeda dari simpanan bank syariah seperti tabungan, giro dan deposito yang masih di cover oleh Lembaga Penjamin Simpanan. 

Alih–alih di cover oleh LPS, Investment account ini murni risikonya ditanggung oleh investor sehingga wajar bahwa penjaminan simpanan tidak diutilisasikan dalam produk ini. 

Investment account menurut AAOIFI, wajib dikontrol sebuah komite di tingkatan di direksi dan komisaris yang dinamkan “Governance Committee”. 

AAOIFI mengatakan bahwa komite ini berisikan wakil dari Komite Audit, Direktur Independen serta Perwakilan dari Dewan Direksi dan mempunyai tugas sebagai pengawas dana investasi yang ditempatkan investor melalui produk Investment Account. 

Secara akuntansi, Investment account dapat dibukukan dengan metode On Balance Sheet (muncul di neraca Bank) atau di Off Balance Sheet (Muncul di Komitmen ataupun Kontijensi). 

SRIA mempunyai beberapa keunikan apabila di bandingkan dengan konsep Investment Account. Sesuai dengan pemahaman penulis ketika ikut andil dalam menyusun produk SRIA bersama OJK dan Asbisindo, Keunikan pertama dari SRIA ini merubah pola piker bank syariah yang sebelumnya Funding First menjadi Financing First. 

Bank syariah selama ini lebih sering mengutamkan masuknya dana fresh fund yang kemudian membuat mereka kebingungan mencari padanan dana tersebut berupa pembiayaan. 

Pada akhirnya, dengan skema pool of fund ini membuat dana menganggur (idle fund) ditempatkan di  instrument pasar uang antar bank seperti FASBIS dan SIMA. Produk SRIA disisi lain, pada prinsipnya dimulai dari insiasi proyek milik debitur untuk kemudian ditawarkan kepada Investor. 

Keunikan kedua dari segi variasi akadnya di mana akad SRIA dapat disesuaikan dengan kondisi bisnis pemilik proyek. Apabila pemilik proyek ingin melakukan Capex dengan membeli fixed asset, maka akad jual beli seperti Murabaha bisa digunakan. 

Di sisi lain, apabila usaha dari debitur bergerak di bidang Jasa, akad syirkah baik itu Musyarakah ataupun Mudharabah dapat diterapkan. 

Keunikan ketiga adalah dari sisi tenor. SRIA dapat membiayai 2 jenis besar pembiayaan yaitu pembiayaan modal kerja yang berfokus kepada jangka pendek serta pembiayaan jangka panjang lewat pembiayaan investasi. 

Kelebihan produk ini jika dibandingkan deposito Mudharabah eksisting di bank syariah terlihat karena seperti yang kita ketahui bersama, Deposit saat ini hanya menyediakan penempatan 1,3,6,12 bulan sedangkan SRIA tenornya menyesuaikan tenor proyek

Keunikan keempat dari fitur pencairannya. Lain halnya dengan deposito Mudharabah yang dapat ditarik sebelum jatuh tempo, SRIA tidak dapat ditarik sebelum jatuh tempo.

Fitur unik SRIA ini pada akhirnya membuat Bank Syariah meninggalkan pola tradisional mereka dalam mengelola likuiditas yaitu adanya Missmatch ke babak baru di mana penempatan disisi Funding (pendanaan) match secara tenornya dengan jangka waktu pembiayaan.

Dengan kata lain, ketika pembiayaan sebuah proyek PLTA contohnya berjangka waktu 6 tahun, maka para investor yang chip in pada produk ini tidak dapat melakukan penarikan sebelum pembiayaan ini jatuh tempo. 

Fitur ini cukup kontroversial di mata praktisi. Pada masa penyusunan produk SRIA ini, para praktisi mengusulkan adanya buyback oleh bank syariah ketika investor dengan kondisi “Force Majeur” melakukan divestasi atas penempatan mereka di produk SRIA.  

Membahas tajuk tulisan singkat ini, konsep Giro Wajib Minimum (GWM) pada akhirnya menjadi ganjalan sehingga produk ini belum digunakan oleh Bank Syariah. 

Tulisan ini mengusulkan bahwa SRIA tidak diikutkan dalam perhitungan Giro Wajib Minimum berdasarkan pada PBI 20/3/PBI/2018 terkait dengan Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi bank umum konvensional, BUS & UUS. Usulan ini diberikan dengan lima pertimbangan. 

Pertimbangan pertama, merujuk pada Definisi Dana Pihak Ketiga sesuai dengan peraturan Bank Indonesia No. 20/3/PBI/2018 di definisikan sebagai “dana simpanan/investasi tidak terikat yang dipercayakan oleh nasabah kepada bank syariah berdasarkan akad wadiah/mudharabah dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu”.

Sedangkan karakteristik SRIA yang bersifat investasi berbeda dengan definisi DPK tersebut. Dengan kata lain, dana yang disalurkan kepada Debitur oleh Investor tidak dikategorikan sebagai simpana.

Pertimbangan kedua yaitu merujuk pada fitur produk SRIA terkait risiko di mana  risiko atas pembiayaan ini di transfer kepada Investor. Pertimbangan ini juga sejalan dengan posisi bank yang bertindak menjadi manajer investasi.

Selayaknya manajer investasi pada umumnya, mereka bertindak atas nama investor dan selama kerugian investasi bukan disebabkan oleh bank syariah, maka investor lah yang menanggung kerugian ini.

Poin terkait terkait transfer risiko ke investor ini menjadi perhatian karena tampak menakutkan bagi para investor dan Bank syariah berharap permasalahan ini tidak menjadi penghambat pertumbuhan produk SRIA ini.  

Pertimbangan ketiga yaitu mengacu pada fitur transaksi yang bersifat Hold to Maturity sehingga risiko mismatch antara sisi aset dan kewajiban akan dapat diminimalasir. Dalam hal ini, produk SRIA pada akhirnya mengedepankan konsep sinergi antara sisi asset dan liabilities yang menjadi pengejewantahan dari konsep “Financing First”  yang telah dibahas diatas.    

Pertimbangan keempat, apabila GWM diterapkan pada produk SRIA, pemilik proyek tidak menerima dana investor secara penuh dan akan mengganggu jalannya proyek.

Sebagai contoh, Debitur A membutuhkan Rp 1 Triliun untuk menyelesaikan proyek PLTA, dikarenkan ada ketentuan GWM sebesar 5%, maka debitur hanya mendapatkan dana sebesar Rp. 950 Miliar dan bahwa risiko tidak selesainya proyek juga terbuka, minimal risiko penundaan proyek bisa terjadi. 

Terakhir, pada tataran operasional, rekening pengelolaan produk SRIA harus menggunakan rekening penampungan dan harus dipisahkan pool of fund dengan rekening DPK pada umumnya. Produk SRIA pada dasarnya menggunakan sistem allocation of fund  yang mencocokkan tenor pembiayaan debitur dengan penempatan yang dilakukan oleh funder. 

Sebagai penutup, produk SRIA ini diharapkan menjadi game changer dan menjadi kelas baru produk bank syariah untuk melayani Nasabah. Wallahuallam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement