REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, skenario perlambatan, bahkan penurunan, pertumbuhan ekonomi pada tahun ini dikarenakan semua komponen Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami tren serupa. Dari konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi penyokong ekonomi domestik hingga investasi diprediksi mengalami perlambatan maupun kontraksi.
Tren tersebut dikarenakan adanya tekanan ekonomi dari pandemi virus corona (Covid-19). Dampaknya semakin meluas, dari krisis kemanusiaan dan kesehatan, kini berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi hingga sektor keuangan.
Sri menjelaskan, dalam skenario pemerintah dengan skala berat, konsumsi rumah tangga diperkirakan melambat menjadi 3,22 persen. Sedangkan, dalam skala sangat berat, komponen ini hanya mampu menyentuh pertumbuhan 1,60 persen. Angka ini di bawah nilai yang disampaikan dalam Undang-Undang APBN 2020, yaitu 5,0 persen.
Kondisi berbeda terjadi pada konsumsi pemerintah. Dalam skenario berat, pemerintah memproyeksikan pertumbuhannya dapat mencapai 6,83 persen, naik signifikan dibandingkan skenario dalam APBN 2020, 4,3 persen. "Konsumsi pemerintah coba kita pertahankan, makanya defisit kita prediksi meningkat," tutur Sri dalam teleconference dengan media, Rabu (1/4).
Pertumbuhan kontraksi diperkirakan terjadi pada komponen yang terkait dengan aktivitas ekonomi global, yakni investasi, ekspor dan impor.
Dalam skenario outlook indikator utama ekonomi makro, Sri menuturkan, investasi hanya tumbuh 1,12 persen, melambat dibandingkan outlook dalam APBN 2020 yaitu 6,0 persen. Skenario paling berat memprediksi, komponen ini tumbuh negatif 4,22 persen.
Sri mengatakan, kinerja ekspor yang tahun lalu sudah negatif hampir satu tahun, kini kembali mengalami kontraksi, bahkan lebih dalam. Begitupun dengan impor yang juga terhambat akibat perlambatan produksi di banyak negara, terutama Cina.
Merujuk pada UU APBN 2020, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekspor tahun ini mencapai 3,7 persen, sedangkan impor 3,2 persen. Dalam skenario berat, pertumbuhan ekspor dan impor masing-masing tumbuh negatif 14,00 persen dan 14,50 persen. Sementara, untuk skenario sangat berat, ekspor kontraksi 15,60 persen dan 16,65 persen untuk impor.
Dengan berbagai kondisi itu, Sri menuturkan, pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2020 hanya 2,3 persen dalam skenario berat. Bahkan, untuk skenario paling berat, ekonomi Indonesia diprediksi mengalami kontraksi hingga 0,4 persen. Outlook itu jauh lebih rendah dibandingkan asumsi makro dalam APBN 2020, 5,3 persen.
Tapi, Sri menekankan, outlook yang disampaikan ini merupakan assesment forward looking atau bersifat antisipatif. Pemerintah, termasuk melalui Komite Sistem Stabilitas Keuangan (KSSK), akan melakukan berbagai kebijakan untuk mencegah skenario terburuk. "Ini semua skenario untuk kita preventif, preventif, preventif," tutur mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu dengan nada tegas.
Dalam upaya pencegahan, Sri menambahkan, berbagai kebijakan yang bersifat merespon situasi terus dilakukan. Pemerintah pun terus mengulas untuk memastikan langkah yang diambil efektif untuk menekan dampak negatif Covid-19. Khususnya terhadap rumah tangga, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), korporasi dan sektor keaungan yang terdampak.
Kebijakan stimulus yang dirancang pemerintah selalu bersifat kombinasi antara sektor kesehatan, jaring pengaman sosial serta ekonomi dan keuangan. "Kita rancang agar tidak ciptakan krisis berkelanjutan dan mendalam," kata Sri.