Selasa 31 Mar 2020 09:16 WIB

Jokowi, Darurat Sipil, dan Anies Baswedan

Jokowi lebih memilih PSBB diikuti Darurat SIpil dibanding Karantina Wilayah.

Joko Sadewo
Foto: istimewa
Joko Sadewo

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Joko Sadewo*

Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar, yang akan diikuti dengan Darurat Sipil. Sebuah kebijakan yang tentu berbeda dengan keinginan sejumlah pemerintah daerah, yang menginginkan Karantina Wilayah.

Kebijakan ini memunculkan sejumlah kritik. Tudingan dan dugaan bahwa pemerintah pusat dianggap enggan mengeluarkan dana yang besar pun mulai terdengar.

Ya, persoalan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Karantina Wilayah bukan sebatas perbedaan terminologi. Tetapi ada kewajiban negara yang berbeda atas konsekuensi dari kebijakan tersebut.

Jika negara menetapkan kebijakan Karantina Wilayah maka sesuai ketentuan UU 6/2018 pasal 55 ayat (1) selama dalam Karantina Wilayah kebutuhan hidup dasar dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

Artinya jika kebijakan ini diterapkan maka negara akan mengeluarkan biaya triliunan rupiah, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Entah benar atau salah, ada yang memperkirakan Rp.100 triliun pun tidak akan cukup untuk membiayai kebutuhan pokok selama masa karantina.

Konsekuensi lain dari Karantina Wilayah adalah bisa jadi tidak akan ada aktifitas ekonomi yang berjalan. Anggota masyarakat di wilayah yang dikarantina dilarang keluar masuk wilayah. Polisi akan menjaga secara ketat wilayah yang dikarantina.

Sementara jika kita bicara soal Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) maka kebijakan itu tidak jauh beda dengan yang sudah dijalankan selama ini. Sesuai dengan ketentuan di pasal 59, diatur tentan kegiatan peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Mungkin yang akan membedakannya adalah ketentuan ini akan diikuti dengan ketentuan Darurat Sipil. Dengan penetapan Darurat Sipil maka Presiden menganggap negara dalam keadaan bahaya dengan tingkat keadaan darurat sipil.

Dalam keadaan darurat sipil maka akan ada kewenangan ekstra yang dimiliki penguasa darurat sipil untuk membatasi, dan melakukan hal-hal yang di luar ketentuan perundangan. Seperti melakukan pelarangan maupun penyitaan. Termasuk di dalamnya berhak membatasi orang berada di luar rumah.

Membaca kebijakan ini, sepertinya pemerintah akan lebih tegas dalam menerapkan Social Distancing. Bisa jadi akan diberlakukan sanksi, minimal tindakan tegas jika ada yang tidak mematuhinya. Termasuk akan melakukan pembatasan pergerakan manusia secara lebih ketat.

Lalu benarkah hanya persoalan uang besar yang membuat Presiden Jokowi tidak mengeluarkan kebijakan Karantina Wilayah? Tentu jawaban pastinya hanya Presiden Jokowi yang tahu.

Tapi penulis mempunyai pandangan bahwa bukan persoalan uang negara saja yang menjadi pertimbangan Presiden Jokowi. Penulis yakin ada pertimbangan yang lebih dibanding sebatas persoalan uang. Pertimbangan itu lebih pada kekhawatiran persoalan ekonomi negara yang akan ambruk, jika Karantina Wilayah diterapkan.

Dengan tidak adanya aktivitas masyarakat selama Karantina Wilayah, bisa dipastikan  aktivitas ekonomi akan lumpuh. Semua sektor ekonomi akan berhenti selama proses Karantina Wilayah.

Penulis juga melihat ketidakyakinan pemerintah pusat tidak yakin bahwa Karantina Wilayah akan menghentikan wabah Corona jenis Covid-19 ini. Ini tergambar dari munculnya suara pejabat negara, yang menyebut //lockdown di sejumlah negara dianggap gagal.

Jokowi vs Anies

Dalam kondisi negara yang terpuruk karena Corona, mencuat pula polemik kebijakan anatar Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan Presiden Jokowi. Sejumlah kebijakan Anies dimentahkan oleh pemerintah pusat.

Terakhir berkait dengan kebijakan Anies  tentang penghentian operasional bus antarkota antarprovinsi (AKAP), bus antar-jemput antarprovinsi (AJAP), serta bus pariwisata dari dan ke Jakarta. Kebijakan ini dimentahkan oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan.

Anies tentu punya keinginan dan tanggung jawab melindungi warga di daerahnya. Sehingga penghentian operasional bus ini diharapkan bisa mengurangi penyebaran wabah corona, dari dan ke Jakarta.

Terlebih Anies melihat perbedaan data yang disampaikan pemerintah pusat dengan data dari bawahannya. Data kematian yang terinformasi ke publik sampai 30 Maret 2020 mencapai 122 orang di seluruh Indonesia. Sementara merujuk pada laporan Dinas Pertamanan DKI, jumlah orang yang meninggal dan dikubur dengan prosedur penanganan jenazah terkena corona mencapai 283 orang. Angka yang sangat jauh jomplangnya.

Namun penulis tidak percaya, pemerintah pusat menghentikan kebijakan ini karena persoalan persaingan pencitraan Jokowi vs Anies. Penulis lebih yakin, pemerintah pusat kembali mempertimbangkan efek ekonomi yang akan terjadi. Terlebih Jakarta adalah pusat perekonomian Indonesia. Jika perekonomian Jakarta tidur maka perekonomian daerah lain bisa jadi terganggu.

Memang banyak perspektif terkait dengan penanganan Corona ini. Tapi kita berprasangka baik saja, bahwa pemerintah pusat maupun Anies Baswedan, sama-sama punya niat baik dalam menjaga warganya.

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement