REPUBLIKA.CO.ID,
diasuh oleh Dr Oni Sahroni, Anggota Dewan Syariah Nasional MUI
--------------
Assalamualaikum wr wb.
Ada fenomena, di satu sisi, fokus pada rukun dan syarat sehingga abai akan aspek kemudahan dalam prosesnya. Di sisi lain, ada yang abai terhadap ketentuan syariah dengan memilih yang mudah dan nggak ribet itu. Bagaimana sesungguhnya porsi mudah dan nggak ribet ini dalam fikih muamalah? Mohon penjelasan, Ustaz!
Yasir-Aceh
--
Waalaikumussalam wr wb.
Jawaban atas pertanyaan ini bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut.
Pertama, ada kesan bahwa untuk menilai suatu produk bisnis atau muamalah itu sesuai atau tidak dengan prinsip syariah adalah apabila terhindar dari transaksi yang terlarang dan sesuai dengan ketentuan akad dalam fikih. Misalnya, jika ada suatu produk dan aktivitas muamalah maka screening yang digunakan adalah ada unsur ribanya atau tidak, usahanya halal atau tidak, serta akadnya jual beli atau bagi hasil tanpa ada pertimbangan terhadap aspek lain, seperti kemudahan proses dan manfaatnya.
Kedua, sesungguhnya, mudah dan nggak ribet adalah bagian dari adab (mahasinul akhlak) yang seyogianya ditunaikan, tidak terkecuali oleh profesional. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT, "Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan." (QS al-Hajj: 78).
Dan pesan Rasulullah SAW, "Berikanlah kabar gembira dan jangan menakut-nakuti dan permudahlah dan jangan mempersulit." (HR Muslim dalam sahihnya, Jihad, Tahrim al-Ghadr, 5: 141).
Mudah, simpel, dan nggak ribet juga bagian dari fitrah yang disukai setiap orang dan sebaliknya, tidak menyukai yang ribet dan menyulitkan.
Berdasarkan nash dan fitrah tersebut, memudahkan menjadi salah satu pertimbangan ahli fatwa dalam memberikan ketentuan hukum, sebagaimana hadis Rasulullah SAW, "Jika ada dua pilihan hukum maka Rasulullah SAW memilih hukum yang memudahkan selama pilihan tersebut bukan dosa." (HR Bukhari).
Memudahkan juga salah satu cara membantu yang membutuhkan, sebagaimana pesan Rasulullah SAW, "Barang siapa melepaskan dari seorang Muslim suatu kesulitan di dunia, Allah SWT akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat...." (HR Muslim).
Tidak terkecuali, memudahkan juga menjadi bagian dari adab dalam bermuamalah sebagaimana hadis Rasulullah SAW, "Allah memberikan rahmat kepada hamba yang mempermudah jika menjual, mempermudah jika membeli, dan mempermudah jika melakukan tuntutan (menagih utang)." (HR Bukhari, Ibnu Majah, dan Tirmidzi).
Ketiga, sebagai bagian dari adab (mahasinul akhlak), pelaku bisnis, ahli syariah, dan stakeholder yang lain berikhtiar menjadikan aspek kemudahan sebagai salah satu pertimbangan dengan tetap mempertimbangkan aspek financial impact dan risk impact. Oleh karena itu, setiap produk yang telah memenuhi rukun, syarat, dan ketentuan yang juga dibuat memudahkan maka telah memiliki nilai plus.
Di antara contoh produk yang memudahkan adalah fitur-fitur mobile banking (seperti transfer, top up e-money, bayar listrik, QR pay, QRIS, berzakat secara online, dan top up e-wallet) karena mudah melakukan transaksi dan pembayaran ke merchant.
Keempat, dari aspek fikih, mudah dan memudahkan itu bagian dari adab (mahasinul akhlak) yang seyogianya dipenuhi oleh para pelaku bisnis, regulator, dan para ahli fatwa. Tetapi, unsur ini bukan termasuk dalam daftar rukun dan syarat transaksi (produk) bisnis keuangan dan muamalah.
Karena mudah dan memudahkan itu sifatnya relatif, (dalam transaksi keuangan, bisnis, maupun muamalah keseharian) yang menjadi parameter adalah kesepakatan. Apa yang disepakati oleh kedua belah pihak, itu yang harus ditunaikan karena merupakan kehendak para pihak.
Selanjutnya, menempatkan unsur mudah dan nggak ribet secara proporsional sesuai dengan porsinya itu menjadi tuntunan. Misalnya, produk lembaga keuangan syariah yang sudah memenuhi rukun dan syaratnya, tetapi karena satu dan lain hal belum semudah produk-produk sejenis di lembaga keuangan konvensional, itu tetap sah dan syar'i. Di antaranya, karena syariah dan konvensional tidak bisa dibuat perbandingan (apple to apple). Wallahu a'lam.