REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan, pihaknya sudah menyiapkan langkah bond stabilization framework atau upaya stabilisasi Surat Berharga Negara (SBN). Kebijakan ini diambil sebagai salah satu mitigasi krisis ekonomi di tengah dampak virus corona terhadap ekonomi global dan perang harga minyak.
Sri menjelaskan, stabilisasi dilakukan untuk menghadapi situasi pasar SBN yang kini tidak terlalu tenang mengingat dinamika eskternal. Menurutnya, selalu ada pemicu yang jauh dari fundamental, namun menyebabkan pasar bergejolak.
Kerangka kerja jangka pendek dan menengah ini pernah dilakukan pada 2008, ketika pasar sedang bergejolak akibat krisis ekonomi. Sri menilainya, saat itu, kebijakan tersebut mampu menenangkan pasar karena langsung berhubungan dengan psikologis.
"Bond stabilization akan menunjukkan, SBN kita kredibel dan stabil. Kalaupun sekarang ada jittery, ketidaknyamanan, itu hanya bersifat psikologis bukan fundamental," ujarnya di Gedung Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu, Jakarta, Selasa (10/3).
Meski bersifat psikologis, Sri memastikan, pemerintah tetap mewaspadainya. Sebab, apabila kondisi ketidaknyamanan ini semakin dalam dan lama, pengaruhnya bisa sampai ke fundamental pasar.
Salah satu langkah dalam kerangka kerja ini adalah membeli SBN di pasar sekunder. Sri mengatakan, upaya serupa sebenarnya sudah dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). Selain itu, Bursa Efek Indonesia (BEI) baru saja mengeluarkan aturan untuk auto reject untuk saham-saham yang mengalami penurunan harga hingga 10 persen dalam sehari.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengatur jumlah saham yang bisa di-buyback lebih dari 10 persen dari modal disetor. Emiten pun dapat melakukannya tanpa perlu menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Langkah ini diambil guna memberikan stimulus di pasar modal sekaligus mengurangi dampak fluktuasi yang dianggap berlebihan. "Ini untuk kembalikan rasionalitas pasar," kata Sri.
Sri memahami kondisi pasar yang kini sedang tidak nyaman dan tidak aman. Virus corona dan perang minyak antara Arab Saudi dengan Rusia menciptakan situasi ini. Dampaknya, para investor cenderung beralih investasi ke instrumen yang dianggap paling aman dan stabil.
Dalam kondisi tersebut, Sri memastikan, pemerintah bersama seluruh otoritas terkait terus mengamati perkembangan di pasar keuangan. Khususnya pasar saham, pasar SBN hingga nilai tukar. Sebab, ia menilai, pergerakannya di seluruh dunia sedang berada di luar kebiasaan (extraordinary).
Misalnya saja, harga saham yang jatuh di bursa saham Amerika Serikat (AS) Wall Street. Kondisi serupa juga terjadi di Jepang, London, Prancis, Jepang maupun keseluruhan Asia hingga Australia. "Ini memberikan warning bahwa kondisi sekarang bukanlah kondisi biasa," tutur mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.